KATA PENGANTAR
Puji serta Syukur kami
hanturkan kepada Sang Khalik, Al Mulk “ Maha Merajai “ atas limpahan
Karunia-Nya lah kami dapat menyelesaikan Materi Ushul Fiqih yang berjudul “Dzohiirud
dilalah wa Khifiyyud dilalah”
Shalawat
beriringkan salam senantiasa tercurah Baginda Alam, Kekasih-Nya, Habibana
wa syafi’ana wa qurratin a’yunina wa maulana Muhammad Saw sebagai
pencerah kehidupan umat-umatNya.
Pembahasan
ini disusun secara metodologis sesuai dengan aturan-aturan yang ada, disusun
dengan ringkas, singkat, faktual, mudah dipahami dan jauh dari kesan
menggurui.
Pada pembahasan minggu lalu telah dijelaskan kaidah-kaidah Amar wa Nahi,
Muthlaq wa Muqoyyad. Melanjutkan mengenai pembagian Dalalah.
Akhirnya, kami menyadari segala kekurangan
dan kekhilafan dalam metodologi maupun substansi. Sumbangsih saran dan kritik
yang konstruktif senantiasa diharapkan untuk perbaikan penyusunan bahan
materi berikutnya. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Aamin....
|
Bogor, April 2016
Penulis
|
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................................... ii
Daftar Isi.......................................................................................................................... iii
Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar
Belakang............................................................................................................ 1
1.2 Rumusan
Masalah....................................................................................................... 1
1.3 Tujuan
pembahasan..................................................................................................... 1
Bab II
Pembahasan
2.1 Pengertian Dilalah...................................................................................................... 1
2.2 Macam-macam Dilalah dari segi makna.................................................................... 2
a. Ulama Hanafiyah...............................................................................................
b. Ulama Syafi’iyah...............................................................................................
2.3 Dilihat dari segi tingkat kejelasan dan kesamaran lafadznya..................................... 4
Bab III Penutup
3.1
Kesimpulan............................................................................................................... 8
3.2
Saran......................................................................................................................... 8
Daftar
Pustaka.............................................................................................................. 9
BAB II
PEMBAHASAAN
2.1 Pengertian Dalalah
Dalalah adalah
petunjuk yang menunjukkan kepada yang di maksudkan atau memahami sesuatu atas
sesuatu. Kata sesuatu yang disebutkan pertama disebut Madlul (المدلول) -
yang ditunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul adalah hukum
itu sendiri. Kata sesuatu yang disebutkan kedua kalinya disebut dalil (دليل) -
yang menjadi petunjuk Dalam hubungannya dengan hukum dalil itu disebut dalil
hukum.
Di dalam Al Misbah Al
Munir, dijelaskan bahwa :
الدلالة
مايقتضيه اللفظ عند الإطلاق
“Dalalah adalah apa yang dikehendaki oleh lafal ketika lafal itu
diucapkan secara mutlaq”
Dalam ilmu ushul fiqih
dapat ditegaskan bahwa dalalah adalah “pengertian yang ditunjuk oleh suatu
lafadh kepada makna tertentu pembahasan tentang dilalah memiliki peranan
penting dalam ilmu logika dan ushul fiqih’. Dalam berfikir dengan pola
dilalah tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung tetapi
cukup menggunakan petunjuk dan isyarat yang ada. Pola berfikir dengan
menggunakan petunjuk dan isyarat disebut dengan berfikir dilalah.
Dilalah berasal
Secara bahasa kata “دلالـة” adalah bentuk mashdar (kata dasar) dari kata “دَلَّ-
يَـدُلُّ” yang berarti menunjukkan. Sedangkan Dilalah menurut istilah adalah
penunjukkan suatu lafadz nash kepada pengertian yang dapat dipahami, sehingga
dengan pengertian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan hukum dari sesuatu
dalil nash. Tegasnya, dilalah lafadz itu ialah makna atau pengertian yang
ditunjukkan oleh suatu lafadz nash dan atas dasar pengertian tersebut kita
dapat mengetahui ketentuan hukum yang dikandung oleh sesuatu dalil nash.
Nash Al-Qur’an dan
As-Sunnah adalah merupakan kumpulan lafadz-lafadz yang dalam ushul fiqh disebut
pula dengan dalil dan setiap dalil memiliki dilalah atau dilalah tersendiri.
Yang dimaksud dengan dalil di sini, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Wahab
Khalaf adalah sebagai berikut;
مـايـُسْـتَـدَ
لُّ بِالـنَّـظْرِالصَّحِيْحِ فِـيْـهِ عَـلَى حُكْمِ شَـرْعِي عَـمَلِي عَـلَى
سَــبِـيْـلِ ا لـقَـطْعِ أَوِالـظَنِّ
Artinya; “segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan
menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan (menemukan) hukum syara’ yang
bersifat amali, baik sifatnya qoth’iy maupun zhanniy.”
Oleh karena itu dapat
dipahami bahwa, pada dasarnya, yang disebut dengan dalil atau dalil hukum itu
ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha
menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan
tepat.
Sementara itu, yang dimaksud dengan dilalah, seperti dijelaskan oleh
Dr.wahbah Zuhaili dalam kitab ushulnya Dilalah adalah :
كَـيْـفِـيَّةُ
دَلَالَـةِ اللَّـفْــظِ عَـلَى الْمَـعْـنَى atau كَيْفِيَّةُ دَلَالَتِهِ
عَلَى المُرَادِ المُتَكَلِّمِ
“penunjukan suatu lafadz atas
sesuatu yang dimaksud oleh mutakallim atau cara penunjukkan lafaz atas sesuatu
makna”
Dilalah sebenarnya merupakan
salah satu bagian dalam pembahasan ilmu logika, di mana untuk mengetahui
sesuatu tidak mesti harus melihat atau
mengamati sesuatu itu secara langsung, tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk
yang ada. Berpikir dengan menggunakan petunjuk atau isyarat disebut berpikir
secara dilalah. Oleh karena itu, dalam pembahasan ilmu Ushul al-Fiqh, dilalah
adalah memahami suatu hukum syar’i berdasarkan dalil hukum syar’i.
2.2 Macam-macam dalalah Dilihat dari segi cara penunjukkan suatu makna
1) Ulama Hanafiyah
a
Dilalah Lafzhiyyah (دلالة لفظية)
Dilalah lafzhiyyah adalah
dilalah yang menggunakan dalil menurut lahiriyahnya sebagai petunjuk hukum.
Para fuqaha’ hanafiyyah membedakan empat tingkat makna dalam suatu urutan yang
dimulai dengan makna eksplisit atau makna langsung suatu nash. Urutan
berikutnya adalah makna yang tersirat yang diikuti oleh makna yang
tersimpul dan terakhir oleh makna yang dikehendaki. Adapun penjelasan keempat
bagian tersebut secara terperinci adalah sebagaimana berikut:
-
دلالة العبارة atau عبارة النص (makna eksplisit), dalalah
ibaratun nash ialah petunjuk lafadz kepada suatu arti yang mudah dipahami baik
dimaksudkan untuk arti asli maupun untuk arti tab’i. dikatakan demikian, karena
petunjuk lafadz tersebut kepada arti yang lahir (dharirud dalalah), sebagaimana
dikatakan bidran abul’aini bidran, dalalah ibratun nash ialah petunjuk lafadz
pada artinya yang cukup jelas baik dimaksudkan sebagai arti ashli maupun arti
tab’i.
Dengan demikian petunjuk lafadz dalam dalalah ‘ibratun nash ini bukan
petunjuk lafadz kepada arti yang tidak jelas dan bukan pula petunjuk lafaz
kepada arti yang tersirat atau tersimpul atau arti yang tersembunyi dibalik
arti yang terang itu. Sehingga dalam memahaminya tidak perlu mencari arti yang
tersembunyi pada lafaz tersebut karena telah memiliki kejelasan makna.
Sebagaimana contoh QS. al-Baqarah (2): 275
واحل الله البيع وحّرم
الر بوأ
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Menurut Abd. Wahab Khallaf, sighat nas dalam QS. al-Baqarah (2): 275,
menunjukkan dengan Dalalah yang jelas atas dua makna, yang masing-masing makna
dikehendaki dari susunan kalimatnya, yaitu pertama, meniadakan persamaan
antara jual beli dengan riba, kedua bahwasannya hukum jual beli dihalalkan
dan hukum riba diharamkan.
Kedua makna itu dipahami dari susunan kalimat nas tersebut
dan dimaksudkan dari susunannya, akan tetapi makna yang pertama dikehendaki
secara asal dari susunannya, karena ayat tersebut dikemukakan untuk membantah opini orang-orang kafir yang
mengatakan bahwasannya jual beli itu adalah seperti riba, sedangkan makna yang
kedua dimaksudkan dari susunan kalimatnya secara mengikut, karena sesungguhnya
penafian persamaan diikuti dengan penjelasan hukum masing-masing dari kedua
duanya, sehingga dari perbedaan hukum tersebut diambil kesimpulan bahwasannya
kedua hal tersebut tidaklah sama. Kalau sekiranya Allah mencukupkan pada makna
yang dikehendaki dari susunan kalimatnya saja secara asal. Niscaya Allah
mengatakan, ….padahal jual beli itu tidaklah seperti riba.
Contoh firman QS
al-Hasyr (59): 7
وما ا تكم الرسول
قخذوه قل وما نهكم عنه فا نتهوا
“Dan apa yang diberikan
Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”
Arti asli yang dipahami
dengan dalalah ibarah al-nas ialah apa yang diberikan Rasul dari harta rampasan
ketika dilakukan pembagian maka terimalah dan yang dilarang bagimu dari harta
rampasan itu maka tinggalkanlah. Arti ini dikatakan sebagai arti asli karena
susunan lafaz dalam ayat tersebut terkait dengan pembagian harta rampasan
perang sebagaimana yang diterangkan sebelumnya.
Apa saja harta rampasan
(fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk
kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim,
Sedangkan arti tab’i yang dapat dipahami dengan dalalah al-nas dari ayat
tersebut adalah wajib taat kepada Rasulullah pada setiap yang diperintahkan dan
yang dilarang.yaitu makna yang dapat segera dipahami dari shighatnya. Makna
tersebut adalah yang dimaksudkan dari susunan kalimatnya. Makna tersebut bisa
langsung dipahami dari lafazh yang disebutkan baik dalam bentuk penggunaan
menurut asalnya (nash) atau bukan menurut asalnya (zhahir).
-
دلالة الإشارة atau إشارة النص (makna tersirat)
Menurut arti istilah (terminology)
ulama ushul adalah Petunjuk lafaz kepada arti atau hukum yang dipahami dengan
jalan mengambil kelaziman dari arti yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas.
Menurut Abu Zahrah dilalah ibarah
al-nas yaitu dengan menyimpulkan satu hukum dari arti yang dipahami dengan
dalalah ibarah al-nas.
Contoh ini dapat dilihat dalam QS.
al-Baqarah (2): 236
لا جناح عليكم ان طلقتم
النساء ما لم تمسو هن او تفر ضوالهن فريضة
”Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan
isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu
menentukan maharnya”.
Arti yang dipahami dengan
dalalah ibarah al-nas ialah boleh mentalak istri yang belum digauli serta belum ditentukan
maharnya. Dari arti tersebut dapat disimpulkan hukum lain bahwa perkawinan
tanpa ditentukan maharnya terlebih dahulu adalah sah. Karena talaknya sah maka
pernikahannya juga sah karena talak yang sah itu dari pernikahan yang sah.
Hukum ini dapat dipahami dari istilah isyarah al-nas karena hukum itu tidak
tertera dalam ayat tetapi merupakan suatu kelaziman baik secara akal maupun
kebiasaan.
-
دلالة الدلالة atau دلالة النص (makna yang tersimpul),
Dalalah al-nas menurut istilah ulama usul adalah Petunjuk lafaz kepada
berlakunya suatu hukum yang disebut oleh lafaz itu kepada peristiwa lain yang
tidak disebutkan hukumya oleh suatu lafaz karena ada persamaan makna yang
dipahami oleh ahli bahasa bahwa itu adalah illah yang menjadi sebab adanya
hukum itu.
Perlu dijelaskan bahwa illah
dalalah al-nas adalah jelas dan dapat dipahami dari susunan kalimat atau bahasa
dari nas itu sendiri dan bukan illah yang dihasilkan dari ijtihad.
Atas dasar ini ulama membedakan
antar dalalah al-nas dengan qiyas. Ilah dalalah al-nas dapat dipahami dari
lafaz atau dari sisi bahasa. Sementara Ilah dalam qiyas tidak bisa dipahami
kecuali dengan jalan ijtihad. Namun demikian imam Syafi’i menyamakan antara dalalah al-nas dengan qiyas
karena hukum dihasilkan oleh keduanya berdasarkan dengan illah.
Contoh; ketika Allah swt melarang
suatu perbuatan, maka bukan sekedar perbuatan itu yang dilarang, tapi yang
lebih penting lagi adalah apa yang ditimbulkan setelah pekerjaan itu dilakukan
atau kesan apa yang ditimbulkan setelah pekerjaan itu terjadi, apakah
menimbulkan manfaat atau mudarat, mafsadat atau mashlahat dari akibat inilah
muncul suatu hukum, wajib, haram dan lain-lain.
Contoh firman Allah swt QS. Al-Isra (17) 23
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْ هُمَا
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
“ah”
Maka lafaz ‘ah’ atau al-ta’fif satu ungkapan untuk menyatakan ketidak senangan atau penolakan
kita atas perintah orang lain dan ucapan itu dapat menyakiti hati atau perasaan
orang lain, sementara dalam pandangan Islam menyakiti perasaan sama hukumnya dengan menyakiti badan, bahkan
terkadang dampaknya lebih besar lagi, apalagi kalau yang melakukan itu adalah
anak kepada orang tuanya. Ini dipahami dari pemahaman bahasa semata tanpa ada
unsur ijtihad di dalamnya.
Demikian pulalah kalimat memukul
dari sisi bahasa kata ‘memukul’ adalah kata yang sudah dipahami oleh semua
orang baik bentuknya maupun tujuannya, dan tujuannya adalah untuk memberikan rasa sakit seseorang baik fisik
maupun perasaan dan lebih menyakitkan lagi jika kalau itu dilakukan oleh
seorang anak kepada orang tuanya; maka memahami makna dan tujuannya tidak
membutuhkan ijtihad, hanya dipahami dari sisi bahasa dan asar yang
ditimbulkannya.
-
دلالة الإقتضاء atau إقتضاء النص (makna yang dikehendaki)
Dalalah al-Iqtida’a yaitu Petunjuk
lafaz terhadap suatu makna yang dipahami dari makna yang ditakdirkan kepada
berlakunya suatu hukum sebagaimana yang dimaksudkan oleh al-syari. Kebenaran
dan kesahihan makna tersebut sangat tergantung kepada makna yang ditakdirkan
itu baik secara syara maupun secara akal.
Contoh sabda Rasulullah saw: “Diangkat
dari umatku, kesalahan, dan lupa dan apa yang dipaksakan atasnya”
Secara zahir hadis ini menunjukkan bahwa, kesalahan, sifat lupa dan
dipaksa, tidak akan menimpa seseorang, tetapi ini bertentangan dengan kenyataan
karena manusia bukanlah makhluk yang
ma’sum.
Begitupulah ketika manusia
melakukan sesuatu karena lupa atau dipaksa, maka sesungguhnya pekerjaan itu
tidaklah diangkat atau dihapus karena pekerjaan itu tetap ada.
Oleh sebab itu apa yang dikhabarkan
Rasul saw kepada kita menyalahi kenyataan, tetapi Rasulullah tidak pernah
mengucapkan kecuali kebenaran, maka dapat dipahami bahwa disitu ada makna yang
harus ditakdirkan supaya makna menjadi sempurna.
b
Dilalah Ghayru Lafzhiyyah (دلالة غير لفظية)
Dilalah ghayru lafzhiyyah adalah dilalah yang menggunakan dalil bukan
menurut lahiriyahnya sebagai petunjuk hukum. Dilalah seperti ini disebut dengan
دلالة السكوت (dilalah as-sukut) atau بيان الضرورة (bayan adl-dlarurah).
Dilalah semacam ini dibagi menjadi empat macam yaitu:
-
Kelaziman yang untuk menyebutkan suatu ketetapan hukum tertentu juga
menetapkan hukum yang tidak disebutkan.
Misalnya dalam firman Allah QS. An-nisa’ (4): 11.
وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ
مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ
أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ
“Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang
yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga;”
Ketetapan bahwa bagian
warisan ibu adalah sepertiga, maka bagian ayah adalah dua pertiga ketika ahli
waris hanya mereka berdua karena bagian laki-laki adalah dua kali bagian
wanita.
-
Penunjukan keadaan diamnya seseorang yang berfungsi sebagai penjelasan
persetujuannya.
-
Menganggap diamnya seseorang sebagai sudah berbicara untuk menghindari
adanya penipuan.
-
Penunjukan keadaan diam untuk sesuatu yang berbilangan tetapi dihilangkan
untuk menyederhanakan kata.
2)
Ulama Syafi’iyyah
Dalam pandangan ulama Syafi’iyyah,
dilalah itu dibagi menjadi dua macam, yaitu dilalah manthuq dan dilalah mafhum.
-
Al-Manthuq (المنطوق)
Dalalah mantuq ialah petunjuk lafadh
kepada arti yang disebutkan oleh lafadh itu sendiri. syaikh muhammad al
khudlari menjelaskan hawa dalalah mantuq membagi lagi menjadi dua macam, yaitu
dalalah matuq sharin dan dalalah manthuq ghairu sharih.
a. Mantuq Sharin,
yaitu petunjuk lafadh kepada arti yang secara tegas disebutkan oleh lafadh
tersebut misalnya dalam firman allah swt
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا
أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْ هُمَا
“maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkata ah”.
b. Manthuq Ghayru
Sharih
yaitu petunjuk
lafadz kepada arti yang tidak tegas disebutkan oleh lafadz tersebut. arti yang
dijuluki dengan dalalah manthtuq ghairu sharih ini dapat berupa: pertama, arti
yang dikehendaki oleh pembicaraan lafadz (syara’) akan tetapi tidak secara
tegas disebutkan oleh tuturan lafadznya dan kedua arti yang disebutkan oleh
tuturan lapadz adalah tidak dimaksudkan oleh pembicaraan (syara’). untuk yang
pertama. dapat berbentuk:
I.
petunjuk lafadz kepada keharusan adanya sesuatu yang dihilangkan,
sebab kebenaran atau keabsahaan suatu pembicaraan sangat tergantung kepadanya.
dalalah dalalah semacam ini, menurut ulama hanafiyah disebutkan dengan dalalah
iqitidlaun nash.
II.
petunjuk lapadz pada arti yang disertai dengan sifat yang merupakan
‘illah (alasan) bagi adanya arti tersebut, seandainya sifat itu bukan merupakan
‘illahnya, maka tidak ada gunanya dengan menyebutkan itu.
-
Al-Mafhum (المفهوم)
Mafhum secara etimologi adalah sesuatu yang dipahami dari suatu
teks. Sedangkan pengertian mafhum menurut ulama ushul adalah pengertian
tersirat dari suatu lafazh atau pengertian kebalikan dari pengertian lafazh
yang diucapkan. Mafhum menurut mayoritas ulama ushul fiqh – sebagaimana
tergambar dalam definisi di atas – dapat dibagi menjadi dua macam;
a. Mafhum
muwafaqah yang lafazhnya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan sama
dengan hukum yang disebutkan dalam lafazh. Mafhum ini terbagi menjadi dua,
yaitu mafhum awlawiy dan mafhum musawiy, sebagaimana keterangan dalam دلالة النص.
b. Mafhum
mukhalafah yang lafazhnya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan berbeda
dengan hukum yang disebutkan. Atau bisa juga diartikan hukum yang berlaku
berdasarkan mafhum itu berlaku berlawanan dengan hukum yang berlaku pada
manthuq. Mafhum mukhalafah ini dinamai juga dengan dalil khithab.
2.3 Dilihat dari segi tingkat kejelasan dan kesamaran lafadznya (tingkat
kejelasan : dhohir, nash, mufassar, muhakkam) dan ( tingkat kesamaran : khofi,
musykil, mujmal, mutasyabih)
Menurut ulama usul
fiqih, dhahirud dalalah ialah lafadh yang menunjukan kepada ketegasan arti yang
dimaksud secara jelas dalam lafadz itu sendiri, tidak tergantung kepada suatu
hal diluar lafadz tersebut. dengan kata lain dhahirud dalalah adalah lafadz
yang terang arti yang dijuluki, sehingga untuk sampai kepada arti tersebut
tidak perlu adanya sesuatu bantuan di luar lafadz itu.
Ulama ushuk fiqih
membagi petunjuk yang jelas itu menjadi empat bagian yaitu zhahir, nash,
mufassar dan muhakkam.Muhakkam yang paling jelas petunjuknya, kemudian
mufassar, nash dan terakhir zhahir.
1.
Az zhahir
Menurut istilah ahli
usul fiqih yaitu sesuatu yang maksudnya ditunjukan oleh bentuk nash itu sendiri
tanpa membutuhkan faktor luar, bukan tujuan asal dari susunan katanya dan
mungkin untuk ditakwil. makna yang dipaham dari suatu ucapan tanpa membutuhkan
faktor luar, bukan tujuan asal dari susunan katanya maka ucapan itu dianggap
zhahir.
Firman allah swt
واحل الله البيع وحّرم
الر بوأ
“dan allah telah menghalalkan jual beli dan mngharamkan riba” (QS. al Baqarah: 275)
Bermakna zhahir (jelas) dalam menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. karena makna itu langsung dapat dipahami dar kata “ahalla”
dan “harrama”, tanpa membutuhkan alasan dan hal itu bukan maksud dari susunan
ayat. karena ayat itu seperti, telah kami jelaskan, susunan asalnya adalah
meniadakan persamaan antara jual beli dan ribba sebagai bantahan kepada orang
yang mengatakan “bsahwasanya jual beli itu seperti ribba”, tidak untuk
menjelaskan kedua hukumnya.
Sabda rasulullah saw. mengenai laut: “laut adalah suci airnya dan
halal bangkainya”
Bermakna jelas
mengenai bangkai (binatang) laut, dan itu bukan asal susunan katanya. karena
pertanyaanya khusus mengenai air laut.
Hukum az zhahir
wajib diamalkan sesuai dengan makna zhahirnya selama tidak ada dalil yang
menuntut untuk diamalkan dengan selain zhahir. karena pada dasarnya tidak ada
pembelokan kata dari makna zhahir kecuali ada dalil yang menuntut dalil itu.
2.
An nash
Menurut istilah ulama usul fiqih yaitu
suatu yang dengan bentuknya sendiri menunjukkan makna asl yang dimaksud dari
susunan katanya dan mungkin untuk di takwil. jika makna itu langsung di paham
dari lafal, pemahamanya tidak butuh faktor luar dan ia adalah makna asal yang
dimaksud dari susunan kata itu, maka dianggap nash.
Firman allah swt, yang berbunyi
واحل الله البيع وحّرم
الر بوأ
“dan allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS. al Baqarah: 275)
Firman
allah swt, yang berbunyi:
نكحوا ما طا ب لكم من النساء مثن وثلث وربع فا
“Maka kawinkanlah wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga
atau empat” (QS. An
nisa:3)
Disebut nash dalam
arti meniadakan persamaan antara jual beli dan riba. karena ia adalah makna
yang langsung dari lafal dan makna asal yang dimaksud dari susunan katanya.
Hukum nash sma
dengan zhahir, artinya wajib diamalkan sesuai dengan nashnya. nash itu mungkin
di takwil artinya yang dikehendaki dapat selain nash. dan ia juga dapat
menerima naskh, sebagaimana yang telah kami jelaskan . oleh karena itu dari
firman allah yang artinya : maka kawinlah wanita (lain) yang kamu senangi”
dapat diambil makna boleh kawin dan membatasi
istri sampai empat atau satu.
3.
Mufassar
Ialah suatu lafadz yang terang petunjuknya kepada arti yang dimaksud
(dengan susunanya) lafadz itu. yang tidak mungkin ditakwilkan kepada yang lain
akan tetapi akan menerima naskh (penghapusan) pada masa di utusnya rasulullah
saw. mufassar dibedakan menjadi dua macam yaitu mufassar lidzatihi dan mufasar
bighairihi.
a
Mufassar lidzatihi yaitu lafadz yang tidak membutuhkan penjelasan
dari yang lain untuk terangnya petunjuk kepada arti yang dimaksud. misalnya
dalam firman allah:
وقاتلوا
المشر كين كا فة
“dan perangilah kaum
musyrikin itu semuanya” (QS.9:36)
Dengan adanya lafadz
كا فة (semuanya) pada ayat di atas, meniadakan takhshish terhadap
lafadz’am المشر كين (kaum musyrikin). dengan demikian, dengan
adanya lafadz itu sudah menjadi jelas arti yang dimaksudkan, tanpa membutuhkan
penjelasan dari yang lain.
b
Mufassar bighairihi, yaitu lafadz yang membutuhkan penjelasan dari
yang lain untuk terangnya petunjuk kepada arti yang dimaksudkan.
Sebagai contoh dalam lafadz mujmal
(global) maka untuk menerangkan agar terang arti yang ditunjuki oleh yang
mujmal itu harus ada penjelasan dari yang lain. misalnya lafadz yang terdapat
dalam firman allah:
واقيمو
الصلوة
“dan dirikanlah sholat” (QS. 2:43)
4.
Al muhakkam
Istilah ulama usulh fiqih adalah
sesuatu yang menunjukan kepada makna yang dengan sendirinya tidak menerima
pembatalan dan penggantian berdasarkan petunjuk yang jelas dan sama sekali
tidak menggunakan takwil yakni diberi makna lain selain lahirnya, karena ia
bersifat rinci dan jelas yang tidak ada peluang untuk takwil. ia tidak menerima
naskh, baik pada masa kerasulan, masa kekosongan turunya wahyu dan atau masa
sesudahnya. Berikut ini adalah contoh
dari lafaz muhkam, yaitu:
Sabda Nabi Muhammad:
اَلْجِهَادُ جَاضٍ
إِلَى يَوْمِ اْلقِيَّامَةِ
Jihad itu berlaku sampai hari kiamat.
Penentuan batas hari
kiamat untuk jihad itu menunjukkan tidak mungkin berlakunya pembatalan dari
segi waktu.
Lafaz muhkam terbagi atas dua macam, yaitu:
-
Muhkam lizâtihi atau muhkam dengan sendirinya bila tidak ada
kemungkinan untuk pembatalan atau nasakh itu disebabkan oleh nash (teks) itu
sendiri. Tidak mungkin nasakh muncul dari lafaz-nya dan diikuti pula oleh
penjelasan bahwa hukum dalam lafaz itu tidak mungkin di-nasakh.
-
Muhkam lighairihi atau muhkam karena faktor luar bila tidak
didapatnya lafaz itu di-nasakh bukan karena nash atau teksnya itu sendiri
tetapi karena tidak ada nash me-nasakh-nya. Lafaz dalam bentuk ini dalam
istilah ushul disebut lafaz yang qath’i penunjukannya terhadap hukum.
1.4 Makna khafi dan permasalahanya
Khafi atau lengkapnya
disebut dengan khafiyud dalalah, khafiyud oleh para ulama usul fiqih diartikan
dengan lafadz yang tertutup (tidak terang), karena keadaan lafadz itu sendiri
atau oleh karena hal-hal lain.
Lafadz yang tidak
terang artinya atau ghairu wudhu al-ma’na,yaitu lafadz yang dari segi lafadz
itu sendiri tidak dapat di ketahui artinya. Lafadz itu baru dapat di pahami
maksudnya bila ada penjelasan dari luar lafadz tersebut.
Lafadz dalam bentuk
ini disebut juga lafadz mubham. Jika nash atau dalil itu bisa dihilangkan
kesamarannya dengan jalan meneliti dan melakukan ijtihad, maka dalil itu
disebut al-khafi atau al-musykil. Jika kesamarannya tidak bisa dihilangkan
kecuali dengan mengambil penjelasan dari syari’ itu sendiri, maka dalil itu
disebut al-mujmal. Dan jika tidak ada jalan sama sekali untuk menghilangkan kesamarannya
itu, maka dalil itu disebut al-mutasyabih.
Ulama’ Ushul telah
membagi khafiyud dalalah menjadi empat yaitu,: Khafi, Musykil, Mujmal dan
Mutasyabih.
1)
Khafi (samar)
Al-Khafi menurut istilah ulama‘ ushul
adalah lafadz yang dapat menunjukkan artinya dengan jelas, namun untuk
menerapkan arti kata itu kepada satuan-satuan lainnya merupakan sesuatu yang
samar dan tidak jelas dan untuk menghilangkan kesamaran dan ketidak jelasan itu
diperlukan upaya berfikir secara mendalam. sehingga lafal itu dianggap samar
dari segi penerapan arti kepada sebagian satuanya. Lafadz yang khafi itu
sebenarnya dari segi lafadznya menunjukkan arti yang jelas, namun dalam
penerapan artinya terhadap sebagian yang lain dari satuan artinya terdapat
kesamaran. Untuk menghilangkan kesamaran itu diperlukan penalaran dan takwil.
Contoh lafadz khafi ini adalah lafadz ” السارق = pencuri” yang mana sudah cukup jelas
artinya yaitu “ Orang yang mengambil harta yang bernilai milik orang lain dalam
tempat penyimpanannya secara sembunyi-sembunyi”.
Penerapan hukuman terhadap pencuri juga
jelas, namun lafadz “ pencuri “ itu
mempunyai satuan arti yang banyak yaitu pencopet, perampok, pencuri barang
kuburan, dan lain sebagainya yang mempunyai kelebihan sifat atau kekurangan
sifat dibandingkan dengan pencuri dalam arti di atas.
Apakah sanksi hukuman potong tangan di
perlakukan terhadap semua satuan arti itu.Disinilah letak kesamaran dan ketidak
jelasan itu. Adapun cara untuk menghilangkan kesamaran tersebut adalah melalui
penelitian, mengetahui tujuan umum dan tujuan khusus di tetapkannya hukum
atasnya; yaitu “perluasan” penunjukan lafadz atau “penyempitan” dalam
penerapannya.
Menurut ijtihad telah ditetapkan secara
mufakad diwajibkannya memotong tangan pencopet, yang diambil dari jalan dalalah
nash, sebab hukum ini lebih cocok, mengingat bahwa alasan memotong lebih
terpenuhi bagi pengertian copet.
2)
Musykil
Yaitu lafal yang bentuknya tidak dapat
menunjukan kepada makna, bahkan harus ada qarinah (petunjuk) dari luar yang
dapat menjelaskan maksud dari lafal itu. qarinah (petunjuk) itu dapat diketahui
dengan pembahasan atau penelitian. sebab terjadinya muskil karena lafadz
tersebut mempunyai lebih dari satu arti yang berbeda, baik arti hakiki maupun
arti majaki dan lafadz itu sendiri tidak menentukan salah satu arti yang
dimaksudkan, maka tidak akan dipahami arti yang dmaksud kecuali dengan adanya
dalil-dalil lain atau qaranah-qaranah yang menjelaskanya.
Sebagai contoh lafadz القرء dalam surat Al-Baqarah ayat 228 yang
berbunyi:
والمطلقت
يتربصن بأنفسهن ثلثة قروء
Yang bermakna ganda yaitu “suci” dan
“haid”.Manakah diantara kedua arti itu yang dimaksud dalam ayat tersebut,
iddah( masa tenggang waktu ) wanita yang dijatuhi thalak itu tiga haid ataukah
tiga kali masa suci?. Imam Syafi’I dan sebagian mujtahid berpendapat bahwa yang
dimaksud adalah suci. Petunjuknya yaitu memberikan tanda perempuan pada nama
bilangan. Karena menurut bahasa, hal itu menunjukkan bahwa al-ma’dud adalah
mudzakkar, yaituالاطهار (suci ) dan bukanالحيضات ( haid ). Sedangkan Ulama’ Hanafiyyah dan sekelompok mujtahid lain
berpendapat bahwa kata tersebut adalah haid.
Petunjuknya adalah:
-
Hikmah disyari’atkannya hukum iddah bagi wanita yang dijatuhi
thalak adalah untuk mengetahui bersihnya Rahim wanita itu dari benih-benih
kehamilan, dan sesuatu yang dapat
menunjukkan hal ini adalah haid bukan suci.
-
Firman Allah SWT. Q.S. Ath-Talak ( 65 ) : 4
والئ يئسن
من المحيض من نسائكم ان ارتبتم فعدتهن ثلثة اشهر والئ يحضن
-
Sabda Rasulullah SAW:
طلاق الامة
اثنتان وعدتها حيضتان
Cara
untuk menghilangkan kesulitan al-musykil adalah dengan ijtihad. Apabila dalam
nash itu terdapat lafadz yang musytarak, seorang mujtahid harus berusaha
menemukan qarinah-qarinah dan dalil-dalil yang dijadikan oleh syari’ untuk
menghilangkan kesulitan lafadz itu dan menentukan pengertiannya. Sebagaimana
dimaklumi betapa jelas ijtihad para mujtahid
ketika menentukan pengertian lafadz القرء dalam ayat tersebut, serta perbedaan
orientasi pandangan mujtahid dalam menentukan ini. Apabila terdapat beberapa nash
sedang dzahirnya nampak terdapat perbedaan dan pertentangan, maka seorang mujtahid harus mentakwilkan nash
dengan benar dan dapat memberikan kejelasan nash-nash itu, sehingga seorang
mujtahid dapat memberikan petunjuk pentakwilan ini dalam bentuk keterangan,
selain berupa nash-nash yang lain, juga berupa kaidah-kaidah syara’ atau hikmah
pembentukan hukum.
Adanya
arti ganda itu menghasilkan hukum yang berbeda, karenanya lafadz tersebut termasuk
dalam lafadz musykil.
حكم المشكل
: هو وجوب البحث والتأمل في المعنى المراد من اللفظ المشكل، ثم العمل بما تبين المراد
منه، بالقرائن والادلة [14]
3)
Mujmal (global)
Lafadz yang terang arti yang
dimaksudkan, oleh karena keadaan lafadz itu sendiri dan tidak mungkin dapat
diketahui arti yang dimaksudkan itu kecuali dengan adanya penjelasan dari
syara’. Lafadz mujmal ini lebih tidak jelas di bandingkan dengan lafadz-lafadz
sebelumnya, karena lafadz itu sendiri tidak dapat di ketahui secara pasti
artinya. Tambahan dari itu tidak ada qarinah yang memberi petunjuk. Oleh karena
itu, untuk mengetahui apa sebenarnya yang di maksud dari lafadz itu sepenuhnya
tergantung pada penjelasan dari yang mengucapkan lafadz itu, dalam hal ini
adalah Nabi.
Contoh kata shalat dan zakat yang
terdapat dalam alqur’an, namun secara bahasa tidak dapat dipahami artinya. Untuk itu penjelasannya di serahkan kepada
Nabi.
Tentang
bagaimana sifat mujmal yang sudah diberi penjelasan oleh Nabi, dalam hal
ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Kebanyakan ulama berpendapat
bahwa lafadz mujmal setelah mendapatkan penjelasan dari Nabi menjadi “ mufassar
“ sehingga tidak mungkin dimasuki oleh ta’wil dan tidak dapat pula menerima
takhsis.
Sebagian ulama berpendapat bahwa lafadz
mujmal setelah memperoleh penjelasan, kadang-kadang menjadi zhahir atau nash,
dan kadang-kadang menjadi mufassar, bahkan kadang-kadang menjadi muhkam.Karena
banyak kemungkinannya, maka tidak dapat dipastikan untuk satu diantara macam-macam kemungkinan
tersebut.Jadi sebab kesamaran dalam al-mujmal ini bersifat lafdzi, bukan sifat
yang baru datang.
Apabila dalam nash syara’ diantara
lafadz-lafadznya terdapat lafadz, dan lafadz itu adalah mujmal, maka pengertiannya harus ditangguhkan sampai
ada penafsiran terhadap lafadz itu oleh syari’ sendiri. Karena itu ada al-sunnah
dalam bentuk amal perbuatan atau ucapan untuk menafsirkan sholat dan
menjelaskan rukun-rukun, syarat-syarat dan cara-caranya.
4)
Mutasyabih
Lafadz mutasyabih secara bahasa adalah
lafadz yang meragukan pengertiannya karena mengandung beberapa persamaan. Dalam
istilah hukum, lafadz mutasyabih adalah
lafadz yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat digunakan untuk
mencapai artinya.
Ketidakjelasan lafadz mutasyabih ini
adalah karena sighatnya sendiri tidak memberikan arti yang dimaksud, tidak ada
pula qarinah yang akan menjelaskan maksudnya; sedangkan syari’ membiarkan saja
kesamaran tersebut tanpa ada penjelasan. Dalam hal ini akal manusia tidak dapat
berbuat sesuatu kecuali menyerahkan dan melimpahkannya kepada Allah sambil
mengakui kelemahan dan kekurangmampuan manusia.
Mutasyabih itu
ada dua bentuk :
-
Dalam bentuk potongan huruf hijaiyyah yang terdapat dalam beberapa pembukaan
surat dalam alqur’an.
-
Ayat-ayat yang menurut dzahirnya mempersamakan Allah yang Maha
Pencipta dengan makhluk-Nya, sehingga tidak mungkin dipahami ayat itu menurut
arti lughawinya.
Seperti
lafadz yang terdapat pada firman Allah SWT:
طه, ص, حم
يدالله فوق ايديهم
“
Tangan Allah diatas tangan mereka “.(
Q.S.Al-fath :10)
Huruf hijaiyyah
terpotong-potong yang terdapat pada beberapa permulaan surat (didalam al-qur’an
) itu sendiri tidak menunjukkan artinya. Dan Allah SWT. Tidak menjelaskan arti
yang dikehendaki daripadanya. Dia Maha
Mengetahui artinya.
Begitu pula ayat-ayat
yang dzahirnya menunjukkan penyerupaan al-Khaliq dengan makhluk-Nya, dan tidak
dapat dipahami menurut arti bahasa. Berkenaan dengan Allah SWT. Adalah Maha
Suci dari ( mempunyai) tangan, mata, tempat dan segala sesuatu yang menyerupai
makhluk-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, maka syara‘ tidak
menjelaskan arti kata-kata itu, Dia Maha Mengetahui artinya. Inilah pendapat
ulama‘ salaf ( terdahulu ) tentang pengertian al-mutasyabih. Mereka menyerahkan
kepada Allah SWT. Dan ilmu-Nya arti al-mutasyabih tersebut dan mereka
mempercayainya serta tidak membicarakan untuk mentakwilnya.
Pendapat ulama’
khalaf adalah bahwa ayat-ayat tersebut dzahirnya mustahil, sebab Allah SWT. Tidak memiliki tangan, mata
dan tempat. Segala sesuatu yang secara dzahiriyyah mustahil pengertiannya harus
dita’wilkan dan dipalingkan dari arti dzahirnya, serta dimaksudkan dengannya
arti yang dikandung oleh kata tersebut sekalipun dengan jalan majaz. Di
dalamnya tidak terdapat penyerupaan al-Khaliq dengan makhluk-Nya. Seperti “
tangan Allah diatas tangan mereka ” ta’wilnya ialah “ kekuasaan Allah di atas
kekuasaan mereka “.
DAFTAR PUSTAKA
Strategi Pembelajaran dengan Paradigma Student Centered Learning
(makalah dalam Lokakarya Peningkatan Pembelajaran melalui SCL, FPISB UII,
Yogyakarta, 4 April 2007).
Harsono,
2007. Student Centered Learning (makalah dalam Lokakarya Peningkatan
Pembelajaran melalui SCL, FPISB UII, Yogyakarta, 4 April 2007).
Roberts,
T. B., 1975. Four Psychologies Applied to Education : Freudian, Behavioral,
Humanistic, Transpersonal. New York: Schenkman Pub. Co.
Rumini,
S. dkk. 1993. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta
Walgito,
B. 2000. Peran Psikologi di Indonesia (Kumpulan Pidato Pengukuhan Guru Besar
Fakultas Psikologi UGM). Yogyakarta: Yayasan Pembina Fakultas Psikologi UGM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar