Kamis, 09 Juni 2016

makalh ushul fiqih tentang dilalah




KATA PENGANTAR

Puji serta Syukur kami hanturkan kepada Sang Khalik, Al Mulk “ Maha Merajai “ atas limpahan Karunia-Nya lah kami dapat menyelesaikan Materi Ushul Fiqih yang berjudul “Dzohiirud dilalah wa Khifiyyud dilalah”
         Shalawat beriringkan salam senantiasa tercurah Baginda Alam, Kekasih-Nya, Habibana wa syafi’ana wa qurratin a’yunina wa maulana Muhammad Saw sebagai pencerah kehidupan umat-umatNya.
         Pembahasan ini disusun secara metodologis sesuai dengan aturan-aturan yang ada, disusun dengan ringkas, singkat, faktual, mudah dipahami dan jauh dari kesan menggurui.
         Pada pembahasan minggu lalu telah dijelaskan kaidah-kaidah Amar wa Nahi, Muthlaq wa Muqoyyad. Melanjutkan mengenai pembagian Dalalah.
Akhirnya, kami menyadari segala kekurangan dan kekhilafan dalam metodologi maupun substansi. Sumbangsih saran dan kritik yang konstruktif senantiasa diharapkan untuk perbaikan penyusunan bahan materi berikutnya. Semoga bermanfaat bagi kita semua.  Aamin....





Bogor, April 2016
Penulis









DAFTAR ISI


Kata Pengantar............................................................................................................... ii
Daftar Isi.......................................................................................................................... iii
               
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang............................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................... 1
1.3 Tujuan pembahasan..................................................................................................... 1

Bab II Pembahasan
 2.1 Pengertian Dilalah...................................................................................................... 1
 2.2 Macam-macam Dilalah dari segi makna.................................................................... 2
            a. Ulama Hanafiyah...............................................................................................
            b. Ulama Syafi’iyah...............................................................................................
   2.3 Dilihat dari segi tingkat kejelasan dan kesamaran lafadznya..................................... 4

 Bab III Penutup
3.1 Kesimpulan............................................................................................................... 8
3.2 Saran......................................................................................................................... 8
Daftar Pustaka.............................................................................................................. 9






        
BAB II
PEMBAHASAAN

2.1 Pengertian Dalalah


         Dalalah adalah petunjuk yang menunjukkan kepada yang di maksudkan atau memahami sesuatu atas sesuatu. Kata sesuatu yang disebutkan pertama disebut Madlul (المدلول) - yang ditunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul adalah hukum itu sendiri. Kata sesuatu yang disebutkan kedua kalinya disebut dalil  (دليل) - yang menjadi petunjuk Dalam hubungannya dengan hukum dalil itu disebut dalil hukum.
         Di dalam Al Misbah Al Munir, dijelaskan bahwa :
الدلالة مايقتضيه اللفظ عند الإطلاق
“Dalalah adalah apa yang dikehendaki oleh lafal ketika lafal itu diucapkan secara mutlaq”
         Dalam ilmu ushul fiqih dapat ditegaskan bahwa dalalah adalah “pengertian yang ditunjuk oleh suatu lafadh kepada makna tertentu pembahasan tentang dilalah memiliki peranan penting dalam ilmu logika dan ushul fiqih’. Dalam berfikir dengan pola dilalah tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung tetapi cukup menggunakan petunjuk dan isyarat yang ada. Pola berfikir dengan menggunakan petunjuk dan isyarat disebut dengan berfikir dilalah.
         Dilalah berasal Secara bahasa kata دلالـةadalah bentuk mashdar (kata dasar) dari kata دَلَّ- يَـدُلُّyang berarti menunjukkan. Sedangkan Dilalah menurut istilah adalah penunjukkan suatu lafadz nash kepada pengertian yang dapat dipahami, sehingga dengan pengertian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan hukum dari sesuatu dalil nash. Tegasnya, dilalah lafadz itu ialah makna atau pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz nash dan atas dasar pengertian tersebut kita dapat mengetahui ketentuan hukum yang dikandung oleh sesuatu dalil nash.
         Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah merupakan kumpulan lafadz-lafadz yang dalam ushul fiqh disebut pula dengan dalil dan setiap dalil memiliki dilalah atau dilalah tersendiri. Yang dimaksud dengan dalil di sini, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf adalah sebagai berikut;
مـايـُسْـتَـدَ لُّ بِالـنَّـظْرِالصَّحِيْحِ فِـيْـهِ عَـلَى حُكْمِ شَـرْعِي عَـمَلِي عَـلَى سَــبِـيْـلِ ا لـقَـطْعِ أَوِالـظَنِّ
Artinya; “segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan (menemukan) hukum syara’ yang bersifat amali, baik sifatnya qoth’iy maupun zhanniy.”
         Oleh karena itu dapat dipahami bahwa, pada dasarnya, yang disebut dengan dalil atau dalil hukum itu ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat.
Sementara itu, yang dimaksud dengan dilalah, seperti dijelaskan oleh Dr.wahbah Zuhaili dalam kitab ushulnya Dilalah adalah :

كَـيْـفِـيَّةُ دَلَالَـةِ اللَّـفْــظِ عَـلَى الْمَـعْـنَى atau كَيْفِيَّةُ دَلَالَتِهِ عَلَى المُرَادِ المُتَكَلِّمِ
 “penunjukan suatu lafadz atas sesuatu yang dimaksud oleh mutakallim atau cara penunjukkan lafaz atas sesuatu makna”

         Dilalah sebenarnya merupakan salah satu bagian dalam pembahasan ilmu logika, di mana untuk mengetahui sesuatu  tidak mesti harus melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung, tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan menggunakan petunjuk atau isyarat disebut berpikir secara dilalah. Oleh karena itu, dalam pembahasan ilmu Ushul al-Fiqh, dilalah adalah memahami suatu hukum syar’i berdasarkan dalil hukum syar’i.

2.2 Macam-macam dalalah Dilihat dari segi cara penunjukkan suatu makna

1)      Ulama Hanafiyah
a         Dilalah Lafzhiyyah (دلالة لفظية)
         Dilalah lafzhiyyah adalah dilalah yang menggunakan dalil menurut lahiriyahnya sebagai petunjuk hukum. Para fuqaha’ hanafiyyah membedakan empat tingkat makna dalam suatu urutan yang dimulai dengan makna eksplisit atau makna langsung suatu nash. Urutan berikutnya adalah makna yang tersirat yang diikuti oleh makna yang tersimpul dan terakhir oleh makna yang dikehendaki. Adapun penjelasan keempat bagian tersebut secara terperinci adalah sebagaimana berikut:
-           دلالة العبارة atau عبارة النص (makna eksplisit), dalalah ibaratun nash ialah petunjuk lafadz kepada suatu arti yang mudah dipahami baik dimaksudkan untuk arti asli maupun untuk arti tab’i. dikatakan demikian, karena petunjuk lafadz tersebut kepada arti yang lahir (dharirud dalalah), sebagaimana dikatakan bidran abul’aini bidran, dalalah ibratun nash ialah petunjuk lafadz pada artinya yang cukup jelas baik dimaksudkan sebagai arti ashli maupun arti tab’i.
   Dengan demikian petunjuk lafadz dalam dalalah ‘ibratun nash ini bukan petunjuk lafadz kepada arti yang tidak jelas dan bukan pula petunjuk lafaz kepada arti yang tersirat atau tersimpul atau arti yang tersembunyi dibalik arti yang terang itu. Sehingga dalam memahaminya tidak perlu mencari arti yang tersembunyi pada lafaz tersebut karena telah memiliki kejelasan makna.
Sebagaimana contoh QS. al-Baqarah (2): 275
واحل الله البيع وحّرم الر بوأ
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”

       Menurut Abd. Wahab Khallaf, sighat nas dalam QS. al-Baqarah (2): 275, menunjukkan dengan Dalalah yang jelas atas dua makna, yang masing-masing makna dikehendaki dari susunan kalimatnya, yaitu pertama, meniadakan persamaan antara jual beli dengan riba, kedua bahwasannya hukum jual beli dihalalkan dan hukum riba diharamkan.
         Kedua makna itu dipahami dari susunan kalimat nas tersebut dan dimaksudkan dari susunannya, akan tetapi makna yang pertama dikehendaki secara asal dari susunannya, karena ayat tersebut dikemukakan untuk  membantah opini orang-orang kafir yang mengatakan bahwasannya jual beli itu adalah seperti riba, sedangkan makna yang kedua dimaksudkan dari susunan kalimatnya secara mengikut, karena sesungguhnya penafian persamaan diikuti dengan penjelasan hukum masing-masing dari kedua duanya, sehingga dari perbedaan hukum tersebut diambil kesimpulan bahwasannya kedua hal tersebut tidaklah sama. Kalau sekiranya Allah mencukupkan pada makna yang dikehendaki dari susunan kalimatnya saja secara asal. Niscaya Allah mengatakan, ….padahal jual beli itu tidaklah seperti riba.
Contoh firman QS al-Hasyr (59): 7
وما ا تكم الرسول قخذوه  قل  وما نهكم عنه فا نتهوا
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”

         Arti asli yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas ialah apa yang diberikan Rasul dari harta rampasan ketika dilakukan pembagian maka terimalah dan yang dilarang bagimu dari harta rampasan itu maka tinggalkanlah. Arti ini dikatakan sebagai arti asli karena susunan lafaz dalam ayat tersebut terkait dengan pembagian harta rampasan perang sebagaimana yang diterangkan sebelumnya.
         Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim,
Sedangkan arti tab’i yang dapat dipahami dengan dalalah al-nas dari ayat tersebut adalah wajib taat kepada Rasulullah pada setiap yang diperintahkan dan yang dilarang.yaitu makna yang dapat segera dipahami dari shighatnya. Makna tersebut adalah yang dimaksudkan dari susunan kalimatnya. Makna tersebut bisa langsung dipahami dari lafazh yang disebutkan baik dalam bentuk penggunaan menurut asalnya (nash) atau bukan menurut asalnya (zhahir).

-           دلالة الإشارة  atau إشارة النص (makna tersirat)
   Menurut arti istilah (terminology) ulama ushul adalah Petunjuk lafaz kepada arti atau hukum yang dipahami dengan jalan mengambil kelaziman dari arti yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas.
   Menurut Abu Zahrah dilalah ibarah al-nas yaitu dengan menyimpulkan satu hukum dari arti yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas.
   Contoh ini dapat dilihat dalam QS. al-Baqarah (2): 236

لا جناح عليكم ان طلقتم النساء ما لم تمسو هن او تفر ضوالهن فريضة
       Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya”.

         Arti yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas ialah boleh mentalak istri  yang belum digauli serta belum ditentukan maharnya. Dari arti tersebut dapat disimpulkan hukum lain bahwa perkawinan tanpa ditentukan maharnya terlebih dahulu adalah sah. Karena talaknya sah maka pernikahannya juga sah karena talak yang sah itu dari pernikahan yang sah. Hukum ini dapat dipahami dari istilah isyarah al-nas karena hukum itu tidak tertera dalam ayat tetapi merupakan suatu kelaziman baik secara akal maupun kebiasaan.

-           دلالة الدلالة atau دلالة النص (makna yang tersimpul),
   Dalalah al-nas menurut istilah ulama usul adalah Petunjuk lafaz kepada berlakunya suatu hukum yang disebut oleh lafaz itu kepada peristiwa lain yang tidak disebutkan hukumya oleh suatu lafaz karena ada persamaan makna yang dipahami oleh ahli bahasa bahwa itu adalah illah yang menjadi sebab adanya hukum itu.
   Perlu dijelaskan bahwa illah dalalah al-nas adalah jelas dan dapat dipahami dari susunan kalimat atau bahasa dari nas itu sendiri dan bukan illah yang dihasilkan dari ijtihad.
   Atas dasar ini ulama membedakan antar dalalah al-nas dengan qiyas. Ilah dalalah al-nas dapat dipahami dari lafaz atau dari sisi bahasa. Sementara Ilah dalam qiyas tidak bisa dipahami kecuali dengan jalan ijtihad. Namun demikian imam Syafi’i  menyamakan antara dalalah al-nas dengan qiyas karena hukum dihasilkan oleh keduanya berdasarkan dengan illah.
   Contoh; ketika Allah swt melarang suatu perbuatan, maka bukan sekedar perbuatan itu yang dilarang, tapi yang lebih penting lagi adalah apa yang ditimbulkan setelah pekerjaan itu dilakukan atau kesan apa yang ditimbulkan setelah pekerjaan itu terjadi, apakah menimbulkan manfaat atau mudarat, mafsadat atau mashlahat dari akibat inilah muncul suatu hukum, wajib, haram dan lain-lain.
Contoh firman Allah swt QS. Al-Isra (17) 23
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْ هُمَا

Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”
   Maka lafaz ‘ah’ atau  al-ta’fif satu ungkapan untuk  menyatakan ketidak senangan atau penolakan kita atas perintah orang lain dan ucapan itu dapat menyakiti hati atau perasaan orang lain, sementara dalam pandangan Islam menyakiti perasaan  sama hukumnya dengan menyakiti badan, bahkan terkadang dampaknya lebih besar lagi, apalagi kalau yang melakukan itu adalah anak kepada orang tuanya. Ini dipahami dari pemahaman bahasa semata tanpa ada unsur ijtihad di dalamnya.
   Demikian pulalah kalimat memukul dari sisi bahasa kata ‘memukul’ adalah kata yang sudah dipahami oleh semua orang baik bentuknya maupun tujuannya, dan tujuannya adalah untuk  memberikan rasa sakit seseorang baik fisik maupun perasaan dan lebih menyakitkan lagi jika kalau itu dilakukan oleh seorang anak kepada orang tuanya; maka memahami makna dan tujuannya tidak membutuhkan ijtihad, hanya dipahami dari sisi bahasa dan asar yang ditimbulkannya.

-           دلالة الإقتضاء  atau إقتضاء النص (makna yang dikehendaki)
   Dalalah al-Iqtida’a yaitu Petunjuk lafaz terhadap suatu makna yang dipahami dari makna yang ditakdirkan kepada berlakunya suatu hukum sebagaimana yang dimaksudkan oleh al-syari. Kebenaran dan kesahihan makna tersebut sangat tergantung kepada makna yang ditakdirkan itu baik secara syara maupun secara akal.
   Contoh sabda Rasulullah saw: “Diangkat dari umatku, kesalahan, dan lupa dan apa yang dipaksakan atasnya”
   Secara zahir hadis ini menunjukkan bahwa, kesalahan, sifat lupa dan dipaksa, tidak akan menimpa seseorang, tetapi ini bertentangan dengan kenyataan karena manusia bukanlah  makhluk yang ma’sum.
   Begitupulah ketika manusia melakukan sesuatu karena lupa atau dipaksa, maka sesungguhnya pekerjaan itu tidaklah diangkat atau dihapus karena pekerjaan itu tetap ada.
   Oleh sebab itu apa yang dikhabarkan Rasul saw kepada kita menyalahi kenyataan, tetapi Rasulullah tidak pernah mengucapkan kecuali kebenaran, maka dapat dipahami bahwa disitu ada makna yang harus ditakdirkan supaya makna menjadi sempurna.


b        Dilalah Ghayru Lafzhiyyah (دلالة غير لفظية)
       Dilalah ghayru lafzhiyyah adalah dilalah yang menggunakan dalil bukan menurut lahiriyahnya sebagai petunjuk hukum. Dilalah seperti ini disebut dengan دلالة السكوت (dilalah as-sukut) atau بيان الضرورة (bayan adl-dlarurah). Dilalah semacam ini dibagi menjadi empat macam yaitu:
-          Kelaziman yang untuk menyebutkan suatu ketetapan hukum tertentu juga menetapkan hukum yang tidak disebutkan.
Misalnya dalam firman Allah QS. An-nisa’ (4): 11.

وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ

Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga;”

          Ketetapan bahwa bagian warisan ibu adalah sepertiga, maka bagian ayah adalah dua pertiga ketika ahli waris hanya mereka berdua karena bagian laki-laki adalah dua kali bagian wanita.
-          Penunjukan keadaan diamnya seseorang yang berfungsi sebagai penjelasan persetujuannya.
-          Menganggap diamnya seseorang sebagai sudah berbicara untuk menghindari adanya penipuan.
-          Penunjukan keadaan diam untuk sesuatu yang berbilangan tetapi dihilangkan untuk menyederhanakan kata.

2)        Ulama Syafi’iyyah 

        Dalam pandangan ulama Syafi’iyyah, dilalah itu dibagi menjadi dua macam, yaitu dilalah manthuq dan dilalah mafhum.
-          Al-Manthuq (المنطوق)
          Dalalah mantuq ialah petunjuk lafadh kepada arti yang disebutkan oleh lafadh itu sendiri. syaikh muhammad al khudlari menjelaskan hawa dalalah mantuq membagi lagi menjadi dua macam, yaitu dalalah matuq sharin dan dalalah manthuq ghairu sharih.
a. Mantuq Sharin, yaitu petunjuk lafadh kepada arti yang secara tegas disebutkan oleh lafadh tersebut misalnya dalam firman allah swt
 فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْ هُمَا
 “maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkata ah”.
b. Manthuq Ghayru Sharih
yaitu petunjuk lafadz kepada arti yang tidak tegas disebutkan oleh lafadz tersebut. arti yang dijuluki dengan dalalah manthtuq ghairu sharih ini dapat berupa: pertama, arti yang dikehendaki oleh pembicaraan lafadz (syara’) akan tetapi tidak secara tegas disebutkan oleh tuturan lafadznya dan kedua arti yang disebutkan oleh tuturan lapadz adalah tidak dimaksudkan oleh pembicaraan (syara’). untuk yang pertama. dapat berbentuk:
                                                                                   I.            petunjuk lafadz kepada keharusan adanya sesuatu yang dihilangkan, sebab kebenaran atau keabsahaan suatu pembicaraan sangat tergantung kepadanya. dalalah dalalah semacam ini, menurut ulama hanafiyah disebutkan dengan dalalah iqitidlaun nash.
                                                                                II.            petunjuk lapadz pada arti yang disertai dengan sifat yang merupakan ‘illah (alasan) bagi adanya arti tersebut, seandainya sifat itu bukan merupakan ‘illahnya, maka tidak ada gunanya dengan menyebutkan itu.

-          Al-Mafhum (المفهوم)
        Mafhum secara etimologi adalah sesuatu yang dipahami dari suatu teks. Sedangkan pengertian mafhum menurut ulama ushul adalah pengertian tersirat dari suatu lafazh atau pengertian kebalikan dari pengertian lafazh yang diucapkan. Mafhum menurut mayoritas ulama ushul fiqh – sebagaimana tergambar dalam definisi di atas – dapat dibagi menjadi dua macam;
a. Mafhum muwafaqah yang lafazhnya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan dalam lafazh. Mafhum ini terbagi menjadi dua, yaitu mafhum awlawiy dan mafhum musawiy, sebagaimana keterangan dalam دلالة النص.
b. Mafhum mukhalafah yang lafazhnya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan. Atau bisa juga diartikan hukum yang berlaku berdasarkan mafhum itu berlaku berlawanan dengan hukum yang berlaku pada manthuq. Mafhum mukhalafah ini dinamai juga dengan dalil khithab.
2.3 Dilihat dari segi tingkat kejelasan dan kesamaran lafadznya (tingkat kejelasan : dhohir, nash, mufassar, muhakkam) dan ( tingkat kesamaran : khofi, musykil, mujmal, mutasyabih)

         Menurut ulama usul fiqih, dhahirud dalalah ialah lafadh yang menunjukan kepada ketegasan arti yang dimaksud secara jelas dalam lafadz itu sendiri, tidak tergantung kepada suatu hal diluar lafadz tersebut. dengan kata lain dhahirud dalalah adalah lafadz yang terang arti yang dijuluki, sehingga untuk sampai kepada arti tersebut tidak perlu adanya sesuatu bantuan di luar lafadz itu.
         Ulama ushuk fiqih membagi petunjuk yang jelas itu menjadi empat bagian yaitu zhahir, nash, mufassar dan muhakkam.Muhakkam yang paling jelas petunjuknya, kemudian mufassar, nash dan terakhir zhahir.
               1.         Az zhahir
         Menurut istilah ahli usul fiqih yaitu sesuatu yang maksudnya ditunjukan oleh bentuk nash itu sendiri tanpa membutuhkan faktor luar, bukan tujuan asal dari susunan katanya dan mungkin untuk ditakwil. makna yang dipaham dari suatu ucapan tanpa membutuhkan faktor luar, bukan tujuan asal dari susunan katanya maka ucapan itu dianggap zhahir.
Firman allah swt
 واحل الله البيع وحّرم الر بوأ
“dan allah telah menghalalkan jual beli dan mngharamkan riba” (QS. al Baqarah: 275)
          Bermakna zhahir  (jelas) dalam menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. karena makna itu langsung dapat dipahami dar kata “ahalla” dan “harrama”, tanpa membutuhkan alasan dan hal itu bukan maksud dari susunan ayat. karena ayat itu seperti, telah kami jelaskan, susunan asalnya adalah meniadakan persamaan antara jual beli dan ribba sebagai bantahan kepada orang yang mengatakan “bsahwasanya jual beli itu seperti ribba”, tidak untuk menjelaskan kedua hukumnya.
Sabda rasulullah saw. mengenai laut: “laut adalah suci airnya dan halal bangkainya”
          Bermakna jelas mengenai bangkai (binatang) laut, dan itu bukan asal susunan katanya. karena pertanyaanya khusus mengenai air laut.
          Hukum az zhahir wajib diamalkan sesuai dengan makna zhahirnya selama tidak ada dalil yang menuntut untuk diamalkan dengan selain zhahir. karena pada dasarnya tidak ada pembelokan kata dari makna zhahir kecuali ada dalil yang menuntut dalil itu.

               2.         An nash
         Menurut istilah ulama usul fiqih yaitu suatu yang dengan bentuknya sendiri menunjukkan makna asl yang dimaksud dari susunan katanya dan mungkin untuk di takwil. jika makna itu langsung di paham dari lafal, pemahamanya tidak butuh faktor luar dan ia adalah makna asal yang dimaksud dari susunan kata itu, maka dianggap nash.
         Firman allah swt, yang berbunyi
واحل الله البيع وحّرم الر بوأ
“dan allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS. al Baqarah: 275)
                     Firman allah swt, yang berbunyi:
 نكحوا ما طا ب لكم من النساء مثن وثلث وربع فا
“Maka kawinkanlah wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat” (QS. An nisa:3)
          Disebut nash dalam arti meniadakan persamaan antara jual beli dan riba. karena ia adalah makna yang langsung dari lafal dan makna asal yang dimaksud dari susunan katanya.
          Hukum nash sma dengan zhahir, artinya wajib diamalkan sesuai dengan nashnya. nash itu mungkin di takwil artinya yang dikehendaki dapat selain nash. dan ia juga dapat menerima naskh, sebagaimana yang telah kami jelaskan . oleh karena itu dari firman allah yang artinya : maka kawinlah wanita (lain) yang kamu senangi” dapat diambil makna boleh kawin dan membatasi  istri sampai empat atau satu.
               3.         Mufassar
Ialah suatu lafadz yang terang petunjuknya kepada arti yang dimaksud (dengan susunanya) lafadz itu. yang tidak mungkin ditakwilkan kepada yang lain akan tetapi akan menerima naskh (penghapusan) pada masa di utusnya rasulullah saw. mufassar dibedakan menjadi dua macam yaitu mufassar lidzatihi dan mufasar bighairihi.
a         Mufassar lidzatihi yaitu lafadz yang tidak membutuhkan penjelasan dari yang lain untuk terangnya petunjuk kepada arti yang dimaksud. misalnya dalam firman allah:
وقاتلوا المشر كين كا فة
 dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya” (QS.9:36)
          Dengan adanya lafadz كا فة (semuanya) pada ayat di atas, meniadakan takhshish terhadap lafadz’am  المشر كين (kaum musyrikin). dengan demikian, dengan adanya lafadz itu sudah menjadi jelas arti yang dimaksudkan, tanpa membutuhkan penjelasan dari yang lain.
b        Mufassar bighairihi, yaitu lafadz yang membutuhkan penjelasan dari yang lain untuk terangnya petunjuk kepada arti yang dimaksudkan.
         Sebagai contoh dalam lafadz mujmal (global) maka untuk menerangkan agar terang arti yang ditunjuki oleh yang mujmal itu harus ada penjelasan dari yang lain. misalnya lafadz yang terdapat dalam firman allah:
واقيمو الصلوة
dan dirikanlah sholat” (QS. 2:43)
               4.         Al muhakkam
         Istilah ulama usulh fiqih adalah sesuatu yang menunjukan kepada makna yang dengan sendirinya tidak menerima pembatalan dan penggantian berdasarkan petunjuk yang jelas dan sama sekali tidak menggunakan takwil yakni diberi makna lain selain lahirnya, karena ia bersifat rinci dan jelas yang tidak ada peluang untuk takwil. ia tidak menerima naskh, baik pada masa kerasulan, masa kekosongan turunya wahyu dan atau masa sesudahnya.  Berikut ini adalah contoh dari lafaz muhkam, yaitu:
         Sabda Nabi Muhammad:
اَلْجِهَادُ جَاضٍ إِلَى يَوْمِ اْلقِيَّامَةِ
Jihad itu berlaku sampai hari kiamat.
          Penentuan batas hari kiamat untuk jihad itu menunjukkan tidak mungkin berlakunya pembatalan dari segi waktu.
          Lafaz muhkam terbagi atas dua macam, yaitu:          
-          Muhkam lizâtihi atau muhkam dengan sendirinya bila tidak ada kemungkinan untuk pembatalan atau nasakh itu disebabkan oleh nash (teks) itu sendiri. Tidak mungkin nasakh muncul dari lafaz-nya dan diikuti pula oleh penjelasan bahwa hukum dalam lafaz itu tidak mungkin di-nasakh.
-          Muhkam lighairihi atau muhkam karena faktor luar bila tidak didapatnya lafaz itu di-nasakh bukan karena nash atau teksnya itu sendiri tetapi karena tidak ada nash me-nasakh-nya. Lafaz dalam bentuk ini dalam istilah ushul disebut lafaz yang qath’i penunjukannya terhadap hukum.
1.4 Makna khafi dan permasalahanya
         Khafi atau lengkapnya disebut dengan khafiyud dalalah, khafiyud oleh para ulama usul fiqih diartikan dengan lafadz yang tertutup (tidak terang), karena keadaan lafadz itu sendiri atau oleh karena hal-hal lain.
         Lafadz yang tidak terang artinya atau ghairu wudhu al-ma’na,yaitu lafadz yang dari segi lafadz itu sendiri tidak dapat di ketahui artinya. Lafadz itu baru dapat di pahami maksudnya bila ada penjelasan dari luar lafadz tersebut.
         Lafadz dalam bentuk ini disebut juga lafadz mubham. Jika nash atau dalil itu bisa dihilangkan kesamarannya dengan jalan meneliti dan melakukan ijtihad, maka dalil itu disebut al-khafi atau al-musykil. Jika kesamarannya tidak bisa dihilangkan kecuali dengan mengambil penjelasan dari syari’ itu sendiri, maka dalil itu disebut al-mujmal. Dan jika tidak ada jalan sama sekali untuk menghilangkan kesamarannya itu, maka dalil itu disebut al-mutasyabih.
         Ulama’ Ushul telah membagi khafiyud dalalah menjadi empat yaitu,: Khafi, Musykil, Mujmal dan Mutasyabih.
1)      Khafi (samar)
        Al-Khafi menurut istilah ulama‘ ushul adalah lafadz yang dapat menunjukkan artinya dengan jelas, namun untuk menerapkan arti kata itu kepada satuan-satuan lainnya merupakan sesuatu yang samar dan tidak jelas dan untuk menghilangkan kesamaran dan ketidak jelasan itu diperlukan upaya berfikir secara mendalam. sehingga lafal itu dianggap samar dari segi penerapan arti kepada sebagian satuanya. Lafadz yang khafi itu sebenarnya dari segi lafadznya menunjukkan arti yang jelas, namun dalam penerapan artinya terhadap sebagian yang lain dari satuan artinya terdapat kesamaran. Untuk menghilangkan kesamaran itu diperlukan penalaran dan takwil.
        Contoh lafadz khafi ini adalah lafadz ” السارق = pencuri” yang mana sudah cukup jelas artinya yaitu “ Orang yang mengambil harta yang bernilai milik orang lain dalam tempat penyimpanannya secara sembunyi-sembunyi”.
        Penerapan hukuman terhadap pencuri juga jelas, namun  lafadz “ pencuri “ itu mempunyai satuan arti yang banyak yaitu pencopet, perampok, pencuri barang kuburan, dan lain sebagainya yang mempunyai kelebihan sifat atau kekurangan sifat dibandingkan dengan pencuri dalam arti di atas.
        Apakah sanksi hukuman potong tangan di perlakukan terhadap semua satuan arti itu.Disinilah letak kesamaran dan ketidak jelasan itu. Adapun cara untuk menghilangkan kesamaran tersebut adalah melalui penelitian, mengetahui tujuan umum dan tujuan khusus di tetapkannya hukum atasnya; yaitu “perluasan” penunjukan lafadz atau “penyempitan” dalam penerapannya.
        Menurut ijtihad telah ditetapkan secara mufakad diwajibkannya memotong tangan pencopet, yang diambil dari jalan dalalah nash, sebab hukum ini lebih cocok, mengingat bahwa alasan memotong lebih terpenuhi bagi pengertian copet.

2)      Musykil
        Yaitu lafal yang bentuknya tidak dapat menunjukan kepada makna, bahkan harus ada qarinah (petunjuk) dari luar yang dapat menjelaskan maksud dari lafal itu. qarinah (petunjuk) itu dapat diketahui dengan pembahasan atau penelitian. sebab terjadinya muskil karena lafadz tersebut mempunyai lebih dari satu arti yang berbeda, baik arti hakiki maupun arti majaki dan lafadz itu sendiri tidak menentukan salah satu arti yang dimaksudkan, maka tidak akan dipahami arti yang dmaksud kecuali dengan adanya dalil-dalil lain atau qaranah-qaranah yang menjelaskanya.
        Sebagai contoh lafadz القرء dalam surat Al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi:
والمطلقت يتربصن بأنفسهن ثلثة قروء
        Yang  bermakna ganda yaitu “suci” dan “haid”.Manakah diantara kedua arti itu yang dimaksud dalam ayat tersebut, iddah( masa tenggang waktu ) wanita yang dijatuhi thalak itu tiga haid ataukah tiga kali masa suci?. Imam Syafi’I dan sebagian mujtahid berpendapat bahwa yang dimaksud adalah suci. Petunjuknya yaitu memberikan tanda perempuan pada nama bilangan. Karena menurut bahasa, hal itu menunjukkan bahwa al-ma’dud adalah mudzakkar, yaituالاطهار  (suci ) dan bukanالحيضات ( haid ). Sedangkan Ulama’  Hanafiyyah dan sekelompok mujtahid lain berpendapat bahwa kata tersebut adalah haid.
Petunjuknya adalah:
-          Hikmah disyari’atkannya hukum iddah bagi wanita yang dijatuhi thalak adalah untuk mengetahui bersihnya Rahim wanita itu dari benih-benih kehamilan, dan sesuatu  yang dapat menunjukkan hal ini adalah haid bukan suci.
-          Firman Allah SWT. Q.S. Ath-Talak ( 65 ) : 4
والئ يئسن من المحيض من نسائكم ان ارتبتم فعدتهن ثلثة اشهر والئ يحضن
-          Sabda Rasulullah SAW:
طلاق الامة اثنتان وعدتها حيضتان
                     Cara untuk menghilangkan kesulitan al-musykil adalah dengan ijtihad. Apabila dalam nash itu terdapat lafadz yang musytarak, seorang mujtahid harus berusaha menemukan qarinah-qarinah dan dalil-dalil yang dijadikan oleh syari’ untuk menghilangkan kesulitan lafadz itu dan menentukan pengertiannya. Sebagaimana dimaklumi betapa jelas ijtihad para mujtahid  ketika menentukan pengertian lafadz القرء dalam ayat tersebut, serta perbedaan orientasi pandangan mujtahid dalam menentukan ini. Apabila terdapat beberapa nash sedang dzahirnya nampak terdapat perbedaan dan pertentangan,  maka seorang mujtahid harus mentakwilkan nash dengan benar dan dapat memberikan kejelasan nash-nash itu, sehingga seorang mujtahid dapat memberikan petunjuk pentakwilan ini dalam bentuk keterangan, selain berupa nash-nash yang lain, juga berupa kaidah-kaidah syara’ atau hikmah pembentukan hukum.
                     Adanya arti ganda itu menghasilkan hukum yang berbeda, karenanya lafadz tersebut termasuk dalam lafadz musykil.
حكم المشكل : هو وجوب البحث والتأمل في المعنى المراد من اللفظ المشكل، ثم العمل بما تبين المراد منه، بالقرائن والادلة [14]
3)      Mujmal (global)
        Lafadz yang terang arti yang dimaksudkan, oleh karena keadaan lafadz itu sendiri dan tidak mungkin dapat diketahui arti yang dimaksudkan itu kecuali dengan adanya penjelasan dari syara’. Lafadz mujmal ini lebih tidak jelas di bandingkan dengan lafadz-lafadz sebelumnya, karena lafadz itu sendiri tidak dapat di ketahui secara pasti artinya. Tambahan dari itu tidak ada qarinah yang memberi petunjuk. Oleh karena itu, untuk mengetahui apa sebenarnya yang di maksud dari lafadz itu sepenuhnya tergantung pada penjelasan dari yang mengucapkan lafadz itu, dalam hal ini adalah Nabi.
        Contoh kata shalat dan zakat yang terdapat dalam alqur’an, namun secara bahasa tidak dapat dipahami artinya.  Untuk itu penjelasannya di serahkan kepada Nabi.
        Tentang  bagaimana sifat mujmal yang sudah diberi penjelasan oleh Nabi, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa lafadz mujmal setelah mendapatkan penjelasan dari Nabi menjadi “ mufassar “ sehingga tidak mungkin dimasuki oleh ta’wil dan tidak dapat pula menerima takhsis.
        Sebagian ulama berpendapat bahwa lafadz mujmal setelah memperoleh penjelasan, kadang-kadang menjadi zhahir atau nash, dan kadang-kadang menjadi mufassar, bahkan kadang-kadang menjadi muhkam.Karena banyak kemungkinannya, maka tidak dapat dipastikan  untuk satu diantara macam-macam kemungkinan tersebut.Jadi sebab kesamaran dalam al-mujmal ini bersifat lafdzi, bukan sifat yang baru datang.
        Apabila dalam nash syara’ diantara lafadz-lafadznya terdapat lafadz, dan lafadz itu adalah mujmal,  maka pengertiannya harus ditangguhkan sampai ada penafsiran terhadap lafadz itu oleh syari’ sendiri. Karena itu ada al-sunnah dalam bentuk amal perbuatan atau ucapan untuk menafsirkan sholat dan menjelaskan rukun-rukun, syarat-syarat dan cara-caranya.

4)      Mutasyabih
        Lafadz mutasyabih secara bahasa adalah lafadz yang meragukan pengertiannya karena mengandung beberapa persamaan. Dalam istilah hukum, lafadz mutasyabih adalah  lafadz yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat digunakan untuk mencapai artinya.
        Ketidakjelasan lafadz mutasyabih ini adalah karena sighatnya sendiri tidak memberikan arti yang dimaksud, tidak ada pula qarinah yang akan menjelaskan maksudnya; sedangkan syari’ membiarkan saja kesamaran tersebut tanpa ada penjelasan. Dalam hal ini akal manusia tidak dapat berbuat sesuatu kecuali menyerahkan dan melimpahkannya kepada Allah sambil mengakui kelemahan dan kekurangmampuan manusia.
Mutasyabih itu ada dua bentuk :
-        Dalam bentuk potongan huruf hijaiyyah yang terdapat dalam beberapa pembukaan surat dalam alqur’an.
-        Ayat-ayat yang menurut dzahirnya mempersamakan Allah yang Maha Pencipta dengan makhluk-Nya, sehingga tidak mungkin dipahami ayat itu menurut arti lughawinya.
                     Seperti lafadz yang terdapat pada firman Allah SWT:
طه,   ص,   حم
يدالله فوق ايديهم
Tangan Allah diatas tangan mereka “.( Q.S.Al-fath :10)
         Huruf hijaiyyah terpotong-potong yang terdapat pada beberapa permulaan surat (didalam al-qur’an ) itu sendiri tidak menunjukkan artinya. Dan Allah SWT. Tidak menjelaskan arti yang dikehendaki daripadanya.  Dia Maha Mengetahui artinya.
         Begitu pula ayat-ayat yang dzahirnya menunjukkan penyerupaan al-Khaliq dengan makhluk-Nya, dan tidak dapat dipahami menurut arti bahasa. Berkenaan dengan Allah SWT. Adalah Maha Suci dari ( mempunyai) tangan, mata, tempat dan segala sesuatu yang menyerupai makhluk-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, maka syara‘ tidak menjelaskan arti kata-kata itu, Dia Maha Mengetahui artinya. Inilah pendapat ulama‘ salaf ( terdahulu ) tentang pengertian al-mutasyabih. Mereka menyerahkan kepada Allah SWT. Dan ilmu-Nya arti al-mutasyabih tersebut dan mereka mempercayainya serta tidak membicarakan untuk mentakwilnya.
         Pendapat ulama’ khalaf adalah bahwa ayat-ayat tersebut dzahirnya mustahil,  sebab Allah SWT. Tidak memiliki tangan, mata dan tempat. Segala sesuatu yang secara dzahiriyyah mustahil pengertiannya harus dita’wilkan dan dipalingkan dari arti dzahirnya, serta dimaksudkan dengannya arti yang dikandung oleh kata tersebut sekalipun dengan jalan majaz. Di dalamnya tidak terdapat penyerupaan al-Khaliq dengan makhluk-Nya. Seperti “ tangan  Allah diatas tangan mereka ”  ta’wilnya ialah “ kekuasaan Allah di atas kekuasaan mereka “.
























DAFTAR PUSTAKA

Strategi Pembelajaran dengan Paradigma Student Centered Learning (makalah dalam Lokakarya Peningkatan Pembelajaran melalui SCL, FPISB UII, Yogyakarta, 4 April 2007).
Harsono, 2007. Student Centered Learning (makalah dalam Lokakarya Peningkatan Pembelajaran melalui SCL, FPISB UII, Yogyakarta, 4 April 2007).
Roberts, T. B., 1975. Four Psychologies Applied to Education : Freudian, Behavioral, Humanistic, Transpersonal. New York: Schenkman Pub. Co.
Rumini, S. dkk. 1993. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta
Walgito, B. 2000. Peran Psikologi di Indonesia (Kumpulan Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Psikologi UGM). Yogyakarta: Yayasan Pembina Fakultas Psikologi UGM.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar