Kamis, 09 Juni 2016

penjelasan sanad matan rowi hadist




SANAD, MATAN, RAWI, DAN TAKHRIJ HADITS
PENDAHULUAN
Sanad dan matan merupakan dua unsur pokok hadits yang harus ada pada setiap hadist, antara keduanya memiliki kaitan yang sangat erat dan tidak dapat dipisakan. Suatu berita tentang rasulullah SAW (matan) tanpa ditemukan rangkaian atau susunan sanadnya, yang demikian tidak dapat disebutkan hadits, sebaliknya suatu susunan sanad, meskipun bersambung sampai rasul, jika tidak ada berita yang dibawanya, juga tidak bisa disebut hadist.
Pembicaran dua istilah diatas, sebagai dua unsur pokok hadist, matan dan sanad diperlukan setelah rasul wafat. Hal ini karna berkaitan dengan perlunya penelitian terhadap otentisitas isi berita itu sendiri apakah benar sumbernya dari rasul atau bukan.Upaya ini akan menentukan bagaimana kualitas hadits tersebut, yang akan dijadikan dasar dalam penetapan syari’at islam.
Dan untuk mengetahui lebih mendalam tentang apa itu unsur-unsur hadis dan kaitan lainya yang berhubungan dengan unsur-unsur hadis seperti rawi, mukharijj dan sebagian lainya perlu kita pelajari
Atas pembicaraan diatas kami dari kelompok dua berkeinginan untuk membahas segala yang berkaitan dengan unsu-unsur hadis, baik itu sanad,matan,rawi, mukharrij dan istilah-istilah kumpulan periwayat,gelar keahlian bagi imam hadis.
PENGERTIAN SANAD, MATAN, RAWI, DAN ILMU RIJALUL HADITS
1. Sanad hadits
Kata sanad atau as-sanad menurut bahasa, dari sanada, yasnudu yang berati sandaran/tempat bersandar, tempat berpegang, yang dipercaya atau yang sah. Dikatakan demikian karena, karena hadist itu bersandar kepadanya dan dipegangi atas kebenaranya.
Secara temionologis,difinisi sanad ialah : ” silsilah orang-orang yang mehubungkan kepada matan hadis”.
Silsilah orang maksudnya, ialah susunan atau rangkaian orang-orang yang meyampaikan materi hadis tersebut, sejak yang disebut pertama sampai kepada Rasul SAW, yang perbuatan, perkataan, taqrir, dan lainya merupakan materi atau matan hadits. Dengan pegertian diatas maka sebutan sanad hanya berlaku pada serangkaian orang-orang bukan dilihat dari sudut pribadi secara perorangan.
2. Matan hadits
Kata matan atau al-matan menurut bahasa berarti ma shaluba wa irtafa’a minal-aradhi (tanah yang meninggi). Secara temonologis, istilah matan memiliki beberapa difinisi, yang mana maknanya sama yaitu materi atau lafazh hadits itu sendiri. Pada salah satu definisi yang sangat sederhana misalnya, disebutkan bahwa matan ialah ujung atau tujuan sanad . Dari definisi diatas memberi pengertian bahwa apa yang tertulis setelah (penulisan) silsilah sanad adalah matan hadits.
Pada definisi lain seperti yang dikatakan ath-thibi mendifinisikan dengan :”lafazh-lafazh hadits yang didalamnya megandung makna makna tertentu”.
Jadi dari pegertian diatas semua, dapat kita simpulkan bahwa yang disebut matan ialah materi atau lafazh hadits itu sendiri, yang penulisannya ditempatkan setelah sanad dan sebelum rawi.
Penelitian sanad dan matan hadist
Penelitian terhadap sanad dan matan hadis (sebagai dua unsur pokok hadis)sangat diperlukan,bukan karena hadis itu diragukan otentisitasnya.penelitian ini dilakukan untuk meyaring unsur-unsur luar yang masuk kedalam hadis baik yang disegaja maupun yang tidak disegaja,baik yang sesuai dengan dalil-dalil naqli lainya atau tidak sesuai.maka dengan penelitian terhadap kedua unsur hadis diatas, hadis-hadis masa rasul SAW dapat terhindar dari segala yang megotorinya
Faktor yang paling utama perlunya dilakukan penelitian ini, ada dua hal yaitu: pertama, karena beredarnya hadis palsu (manudhu) pada kalangan masyarakat; kedua hadis-hadis tidak ditulis secara resmi pada masa rasul SAW (berbeda dengan al-quran), sehinga penulisan hanya bersifat individul(tersebar di tangan pribadi sahabat ) dan tidak meyeluruh.
3. Rawi hadits
Kata rawi  berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits ( naqil al-hadits).
Sebenarnya, sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Sanad-sanad hadits pada tiap tabaqah-nya, juga disebut rawi, jika yang dimaksud dengan rawi adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadits. Akan tetapi, yang membedakan antara rawi dan sanad terletak pada pembukuan atau pen-tadwin-an hadits. Orang yang menerima hadits dan kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin disebut perawi. Dengan demikian, maka perawi dapat disebut mudawwin (orang yang membukukan dan menghimpun hadits).
Ilmu Rijalil Hadits adalah salah satu dari ilmu-ilmu hadits yang sangat penting. Ilmu hadits, melengkapi sanad dan matan. Orang-orang sanad itulah perawih-perawih hadits. Maka merekalah pokok pembicaraan ilmu Rijalul Hadits yang merupakan salah satu dari dua tepi ilmu hadits. Lantataran inilah para ulama sangat mementingkan ilmu ini. Tentang ilmu Rijalul Hadits akan dibatas tersendiri.
CONTOH RAWI
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﻌﻤﺮ ﺑﻦ ﺭﺑﻌﻲ ﺍﻟﻘﻴﺲ، ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﻫﺸﺎﻡ ﺍﻟﻤﺤﺰﻭﻣﻲ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻮﺍﺣﺪ ﻭﻫﻮ ﺍﺑﻦ ﺯﻳﺎﺩ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﺣﻜﻴﻢ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻤﻨﻜﺪﺭ ﻋﻦ ﻋﻤﺮﺍﻥ ﻋﻦ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﻋﻔﺎﻥ ﻗﺎﻝ ؛ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ؛ ﻣﻦ ﺗﻮﺿﺄ ﻓﺄﺣﺴﻦ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﺧﺮﺟﺖ ﺧﻄﺎﻳﺎﻩ ﻣﻦ ﺟﺴﺪﻩ ﺣﺘﻲ ﺗﺨﺮﺝ ﻣﻦ ﺗﺤﺖ ﺃﻇﻔﺎﺭﻩ . ‏( ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ ‏)
Artinya:
“ Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ma’mur bin Rabi’i al-Qaisi, katanya telah menceritakan kepadaku Abu Hisyama al-Mahzumi dari Abu Al-Wahid yaitu Ibnu Ziyad, katanya telah menceritakan kepadaku ‘Utsman bin Hakim, katanya telah menceritakan kepadaku Muhammad al-Munqadir, dari ‘Amran, dari ‘Utsman bin Affan r.a. ia berkata” Barang siapa yang berwudu’ dengan sempurna (sebaik-baiknya wudu’), keluarlah dosa-dosanya dari seluruh badannya, bahkan dari bawah kukunya” (H.R. MUSLIM).
Dari nama Muhammad bin Ma’mur bin Rabi’il al-Qaisi sampai dengan ‘Utsman bin ‘Affan ra. adalah sanad dari hadits tersebut. Mulai kata “ man tawadha’a ” sampai dengan kata “ tahta azhfarihi ”, adalah matannya, sedangkan Imam Muslim yang dicatat diujung hadits adalah perawinya, yang juga disebut mudawwin.
● Syarat-syarat seorang perawi (rawi)
Secara umum ada dua syarat pokok yang biasa diterima periwayatannya yaitu. Yaitu :
a. Islam
Pada waktu periwayatan hadis, maka seorang perawi harus muslim, menurut ijma pendapat orang kafir tidak sah. Seamdainya perawinya seorang fasik saja kita disuruh bertawaqub , maka lebih-lebih perawi yang kafir. Kaitannya dengan masalah ini bisa kita bandingkan dengan firman Allah sebagai berikut:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. “ (Al-Hujurat: 6).
b. Baligh
Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadis, berdasarkan hadits Nabi
ﺭﻓﻊ ﺍﻟﻘﻠﻢ ﻋﻦ ﺛﻼﺛﺔ : ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺎﺋﻢ ﺣﺘﻰ ﻳﺴﺘﻴﻘﻆ،ﻭﻋﻦ ﺍﻟﻤﺒﺘﻠﻰ ﺣﺘﻰ ﻳﺒﺮﺃ،ﻭﻋﻦ ﺍﻟﺼﺒﻰ ﺣﺘﻰ ﻳﻜﺒﺮ
“Diangkat qalam (maksudnya tidak dicatat amalnya) dari tiga (orang),yaitu : 1. Dari orang yang tidur sampai ia bangun. 2. Dari orang yang terkena penyakit (gila) sampai ia sembuh. 3. Dari anak kecil sampai ia besar (baligh). HR. Ahmad,Abu Dawud,Nasa-i,Ibnu Majah dan Hakim dari ‘Aisyah.
c. Al-Adl (keadilan)
Al-Adl disini berarti keadilan, dimana seorang perawi itu harus muslim, baligh, berakal, jujur, terbebas dari sebab-sebab kefasikan dan terhindar dari hal-hal yang merusak muru’ah (martabat diri). Adapun rawi dikatakan ‘ adil orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang menodai agama dan keperwiraannya.
Perawi yang adil tidak boleh melakukan dosa besar maupun kecil. Para ulama hadis lebih jauh mengajukan syarat-syarat khusus bagi seorang perawi yang adil.
Dengan Apa Keadilan Dipastikan?
Keadilan dapat dipastikan melalui salah satu dari dua hal:
Pertama, bisa dengan ketetapan dua orang yang adil, yaitu dua ulama ta’dil atau salah seorang dari mereka menetapkan keadilannya.
Kedua, bisa juga dengan ketenaran atau kepopuleran. Jadi, barangsiapa yang popular dikalangan ahli ilmu dan banyak yang memujinya, hal itu sudah cukup. Tidak diperlukan lagi penentuan adil baginya. Contoh imam-imam yang terkenal, seperti imam madzhab yang empat, al-Auza’i dan lainnya.
Ibnu Hajar Al-‘Asqalan menyebar lima syarat. Yakni takwa kepada Allah, memiliki moralitas yang mulia (mura’ab), bebeas dari dosa besar, tidak melakukan bidab, dan tidak fasiq. Namun, kualitas keadilan belum menjamin keakuratan sebuah riwayat dan belum dapat menghindarkan seseorang berbuat salah, karena kesalahan bisa terjadi tanpa disadari oleh si pembuat kesalahan.
d. dhabith
Perawi harus memiliki akurasi hafalan yang tinggi (dhabith). Untuk memiliki tingkat akurasi perawi, para ulama hadis menggunakan dua metode, yakni merujuk pada penilaian-penilaian para ulama tentang perawi tertentu dan membandingkan riwayatnya dengan riwayat lain. Metode-metode ini tercermin dalam pernyataan-pernyataan yang disandarkan kepada ulama-ulama, Ayyub As-Sakhtiyani, seseorang Tabiin muda (68-131), misalnya, dilaporkan telah berkata “untuk mengetahui pernyataan autentik mengenai autentisitas hadis, seseorang perlu membandingkan kata-kata para ulama dengan kata-kata ulama lain”. Secara teoritis, metode membandingkan riwayat seorang perawi dengan riwayat perawi lain dapat ditemukan dalam buku pegangan (handbook) tentang kritik hadis klasik, Muqaddimah, karya Ibnu Ash-Shalah. Dia mengatakan:
“ Akurasi seorang perawi dapat diketahui melalui cara membandingkan riwayatnya dengan riwayat orang terkenal ke- tsiqab- annya. Apabila (1) riwayatnya sesuai dengan riwayat mereka, meskipun hanya sebatas isinya atau (2) riwayatnya memang lazim sesuai dengan riwayat mereka jarang berbeda, maka kita mengetahui bahwa perawi tersebut mengontrol riwayatnya dan
karena itu ia dhabith. Akan tetapi apabila riwayatnya sering ditemukan berbeda dengan riwayat para perawi tsiqah, maka ia bukan perawi yang dapat dipercaya dan riwayatnya tidak boleh digunakan sebagai dasar hujjah.
4. Takhrij hadits
Kata “takrhij” dari kata kharaja,yakharruju,yang secara bahasa mempunyai bermacam-macam arti. Menurut mahmud ath tahhan,asal kata takhrij ialah;”berkumpulnya dua hal yang bertentangan dalam satu persoalan”.
Pegertian secara terminologi adalah “Petunjuk tentang tempat atau letak hadis pada sumber aslinya, yang diriwayatkan dengan meyebutkan sanadnya, kemudian di jelaskan martabat atau kedudukanya manakala di perlukan.”
Bedasarkan definisi diatas, maka men-takhrij berati melakukan dua hal:
Pertama, berusaha menemukan para penulis hadis itu sendiri dengan rangkaian silsilah sanad-nya. Kedua, memberikan penilaian kulitas hadis apakah hadis tersebut itu shahih atau tidak
Ilmu thakrij merupakan bagian dari ilmu agama yang perlu dipelajari dan dikuasai, sebab di dalamnya dibicarakan tentang berbagai kaidah untuk megetahui darimana sumber hadis itu berasal, selain itu didalamnya ditemukan banyak kegunaan dan hasil yang diperoleh khusunya dalam menentukan kualitas sanad hadis
a. Gelar keahlian bagi imam hadits
Mengingat jasa dan usaha para ulama hadits yang sangat besar dalam upaya pembinaan dan pengembangan hadits, kepada mereka diberikan laqab atau gelar-gelar tertentu, baik itu mereka yang ada pada thabaqah pertama, kedua, ketika, dan seterusnya. Gelar itu antara lain ialah:
1. Al-muhaddits, merupakan gelar untuk ulama yang meguasai hadits, baik dari sudut ilmu riayah maupun di rayah, mampu membedakan hadits dha’if dari yang sahih, meguasai hadits-hadits yang mukthalif dan hallain yang berkaitan dengan ilmu hadis.
2. Amir al- mu’minin fi al- hadits,merupakan gelar bagi ulama ahli hadis termasyhur pada masanya, yang memiliki keistimewaan hafalan dan pegetahuan dalam bidang ilmu hadits (baik terhadap matan atau sanadnya). Gelar ini diberikan di antaranya kepada syu’bah bin al-hajjaj, sufyan ats-tsauri, ishak ibn ruhawaih, malik bin anas, ahmad bin hanbal, al-bukhari, ad-daruquthni, az zahabi, dan ibn hajar al-asqalani.
3 .Al-hakim, merupakan gelar untuk ulama yang dapat meguasai seluruh hadits, baik dari sudut matan dan sanadnya jarh dan ta’dil-nya, maupun tariknya, ulama yang dapat gelar seperti ini, ialah Ibnu Dinar, Al-laits, dan Asy-syafi’i.
4. Al-Hujjah, merupakan gelar untuk ulama yang dapat menghafal sekitar 300.000 hadits beserta keadaan sanadnya. Diantara ulama yang mendapat gelar ini Muhammad ibn Abdullah ibn Amir.
5. Al- Hafizh merupakan gelar untuk ulama yang memiliki sifat-sifat seorang Muhaddis. Ulama yang dapat gelar Al-Hafizh adalah yang dapat menghafal dan menguasai 100.000 hadits, baik matan maupun sanadnya, meskipun dengan jalan sanad yang berbilang, juga mengetahui hadits sahih dan ilmu haditsnya. Menurut Al-Mizzi, gelar al-hafizh ialah untuk ulama yang kadar lupanya sedikit daripada yang ingatannya.
Selain gelar Al-Hafizh, ada juga gelar Hafizh Hujjah,dua gelar disatukan. Gelar ganda ini diberikan untuk ulama yang menguasai hadits lebih dari 100.000 sampai dengan 300.000 hadits.
b.istilah-istilh kumpulan periwayat
Hadis-hadis yang diriwayatkan dan dihimpun oleh para mudawwin satu dengan yang lainya tidak sama , sehingga bisa jadi sesuatu hadis diriwayatkan oleh satu,dua,atau tiga perawi, bisa jadi pula hadis lainya hanya diriwayatkan oleh satu perawi.berkaitan dengan ini, maka muncul istilah-istilah atau sebutan –sebutan dalam periwayatan hadis antara lain:
1. akhrajahu syaikhani: hadis tersebaut diriwayatkan oleh kedua perawi hadis (al-bukhari dan muslim)
2. akhrajahu shalasah: hadis tersebut diriwayatkan oleh tiga perawi hadis(abu daud,at-turmidzi, dan an nasa’i)
3. akhrajahu arba’atun: hadis tersebut diriwayatkan oleh empat perawi (abu daud,at-turmidzi,an-nasa’i, dan ibn-majah)
4. akhrajahu khamsatun: hadis tersebut diriwayatkan oleh (abu daud, at-turmidzi, an-nasa’i,ibn majah, dan ahmad)
5. akhrajahu sittatun: hadis tersebut diriwayatkan oleh(al-bukhari,muslim,abu daud, at turmidzi, an nasa’i, dan ibnu majah)
6. akhrajahu sab’atun: hadis tersebut diriwayakan oleh(al-bukhari, muslim, abu-daud, at-turmidzi, an-nasai, ibn majah, ahmad)
7. akhrajahu jama’atan: hadis tersebut diriwayatkan oleh banyak ulama hadist
Daftar Pustaka
Ash shiddieqy, M. Hasbi. 2001. sejarah dan pengantar ilmu hadits.
Semarang: PT. Pustaka Rizki putra.
Suparta, Munzir. Ilmu Hadis, Jakarta: Rajawali Press, 2003
Shalih, Subhi , Membahas Ilmu-ilmu Hadis. Pustaka Pirdaus, 2007
Rahman, Fathur, Ikhtisar Mustalahul Hadis, Bandung: PT. Al Ma’arif, 1974
Ash shalih, Subhi. 1993. Membahas ilmu-ilmu hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus
Ismail, M. Syuhubi. 1992. Metodologi penelitian hadits.
Jakarta: PT. Bulan Bintang
Ismail, M. Syuhubi.2007. Pengantar ilmu hadits. Jakarta: PT. Angkasa Bandung
‘Itr, Nuruddin. 2012. ‘ulumul Hadits. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset
Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta : Pustaka Al-Kausar. 2004).
Ath-tahhan,Mahmud. Ushul at-takhrij wa dirasah al-asanid.maktabah ar-rusyd,riyadh,1983 M.
Taisir musthalah al-hadist .Dar al-quran al-karim,Beirut, 1979 m.
Al-Khathib Muhamad ajjaj.As-sunah Qabla at-tadwin.Dar al-fikr,Beirut,1971
Muslim, Abu al-Husain bin al-hajjaj al-Qursyairi an-Naisaburi.shahih muslim. Dar al-fikr,Beirut, 1992 m.
As-sayuthi,jalal ad-din Abd ar-Rahman bin Abi Bakar .Al-jami ash-shagir fir Alhadis al-Basyir an-Nazir.Dar al fikr,beirut,t.t.
Utang ranuwijaya.ilmu hadist.jakarta,gaya media pratama.1996 m.
Hanafi, Ahmad, 1989, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam , Jakarta: Bulan Bintang
Jalaluddin, Fiqih remaja, 2009, Jakarta: Kalam Muliua,
Qardhawi, Yusuf, 2007, Pengantar Studi Hadts , (Bandung: Pustaka Setia
Smeer. Zeid B. t.th, Ulumum Hadist Pengantar Studi Hadist Praktis. ,
Malang, UIN- Malang Press
Syauki, Achmad, 1985, Lintasan Sejarah Al-Qur’an , Bandung: Sulita
Thahhan. Mahmud, 2007, Intisari Ilmu Hadist, Malang:UIN-Press
Thalib, Muhammad, 1977, Ilmu Ushul Fiqh , Jakarta: Bina Ilmu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar