Kamis, 09 Juni 2016

makalah bahan ajar pai



Makalah Bahan Ajar PAI

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Istilah bahan ajar ditemukan dalam Permendiknas Nomor. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses dan Panduan Pengembangan RPP yang disusun oleh Depdiknas Tahun 2008. Dalam mengembangkan bahan ajar, mesti merujuk dalam aturan yang ada tersebut. Pada sisi lain, Depdiknas juga telah menyusun panduan pengembangan materi pembelajaran. Mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) pada sekolah dalam membuat bahan ajar dalam RPP, mesti merujuk ke dalam aturan tersebut.
Bahan Ajar PAI dalam Standar Isi terdiri dari lima aspek, yakni aspek al-Qur’an dan hadis, aqidah, akhlak, fiqh, tarekh dan kebudayaan Islam. Pengembangan lima aspek tersebut didasarkan atas tiga ranah teori Bloom yakni ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Kelima aspek Bahan Ajar PAI dimaksud mesti dirumuskan secara terukur, sehingga kompetensi yang akan dicapai oleh peserta didik mencapai sasaran yang diharapkan.
Untuk itu, tulisan ini membahas tentang teknik merumuskan bahan ajar Pendidikan Agama Islam, dengan pendekatan kajian teoritis dan praktisnya dalam perencanaan pembelajaran. Dengan adanya tulisan ini, semoga dapat membantu pendidik dalam merumuskan materi ajar yang terdapat dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran.
B.       Perumusan  Masalah
Dalam penulisan Makalah ini akan dirumuskan beberapa masalah diantaranya adalah sebagai berikut:
1.         Apa Pengertian Bahan Ajar dalam standar proses ?      
2.         Bagaimana Strategi dalam Memanfaatkan bahan ajar ?
3.         Apa karakteristik media pembelajaran dalam standar proses ?
4.         Bagaimana kriteria dalam memilih media bahan ajar ?






BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Bahan Ajar
Bahan ajar terdiri dari dua kata yakni bahan dan ajar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) Bahan diartikan dengan segala sesuatu benda yang tampak. Sedangkan Ajar diartikan dengan petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut). Berdasarkan arti kata tersebut, bahan ajar diartikan dengan  sesuatu yang tampak sebagai petunjuk yang diberikan kepada peserta didik berupa materi yang akan diterima oleh peserta didik.  Pada sisi lain, defenisi bahan ajar hampir sama dengan defenisi materi pembelajaran.
Dalam Panduan Pengembangan Materi Pembelajaran (Depdiknas, 2008) dijelaskan bahwa materi pembelajaran adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dikuasai peserta didik dalam rangka memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan.

















KRITERIA PEMILIHAN MEDIA PEEMBELAJARAN  PAI
Media pembelajaran merupakan salah faktor penting dalam peningkatan kualitas pembelajaran. Hal tersebut disebabkan adanya perkembangan teknologi dalam bidang  pendidikan yang menuntut efisiensi dan efektivitas dalam pembelajaran. Untuk mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas yang optimal, salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah mengurangi bahkan jika perlu menghilangkan dominasi sistem penyampaian pelajaran yang bersifat verbalistik dengan cara menggunakan media pembelajaran.
Pada dasarnya media pembelajaran adalah perantara untuk mempermudah dalam menyampaikan pesan bagi guru kepada siswa. Dalam perkembangan teknologi yang pesat ini, berkembang pula media dalam pembelajaran. Banyaknya media tersebut dating dengan menawarkan karakteristiknya masing masing masing. Media, pada dirinya membawa kekurangan dan kelebihanya. Maka guru harus mampu memilih dengan efektif dan efesien. Uraian berikut akan membahas hal-hal dimaksud agar kita dalam memilihan media pembelajaran lebih  tepat.
B. KRITERIA PEMILIHAN MEDIA
            Media pembelajaran yang  beraneka ragam jenisnya  tentunya  tidak akan digunakan seluruhnya secara serentak dalam kegiatan pembelajaran, namun hanya beberapa saja. Untuk itu perlu di lakukan pemilihan media tersebut. Agar pemilihan media pembelajaran tersebut tepat, maka perlu dipertimbangkan faktor/kriteria-kriteria dan langkah-langkah pemilihan media. Kriteria yang perlu dipertimbangkan guru atau tenaga pendidik dalam  memilih media pembelajaran menurut Nana Sudjana. yakni
1) ketepatan media dengan tujuan pengajaran;
2) dukungan terhadap isi bahan pelajaran;
3) kemudahan memperoleh media;
4) keterampilan guru dalam menggunakannya;
5) tersedia waktu untuk menggunakannya.
6) sesuai dengan taraf berfikir anak..
            Berkaitan dengan pemilihan media ini, Azhar Arsyad menyatakan bahwa kriteria memilih media yaitu: 1) sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai; 2) tepat untuk mendukung isi pelajaran; 3) praktis, luwes, dan tahan; 4) guru terampil menggunakannya; 5) pengelompokan sasaran; dan 6) mutu teknis. Selanjutnya Brown, Lewis, dan Harcleroad menyatakan bahwa dalam memilih media perlu mempertimbangkan kriteria[6] sebagai berikut: 1) content; 2) purposes; 3) appropriatness; 4) cost; 5) technical quality; 6) circumstances of uses; 7) learner verification, and 8) validation.
           
Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditegaskan bahwa pada prinsipnya pendapat-pendapat tersebut memiliki kesamaan dan saling melengkapi. Selanjutnya menurut hemat penulis yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan media yaitu tujuan pembelajaran, keefektifan, peserta didik, ketersediaan, kualitas teknis, biaya, fleksibilitas, dan kemampuan orang yang menggunakannya serta alokasi waktu yang tersedia. Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang hal ini akan  diuraikan sebagai berikut:
1.      Tujuan pembelajaran. Media hendaknya dipilih yang dapat menunjang pencapaian tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya, mungkin ada  sejumlah alternatif yang dianggap cocok untuk tujuan-tujuan itu. Sedapat mungkin pilihlah yang paling cocok. Kecocokan banyak ditentukan oleh kesesuaian karakteristik tujuan yang akan dicapai dengan karakteristik media yang akan digunakan.
2.      Keefektifan. Dari beberapa alternatif media yang sudah dipilih, mana yang  dianggap paling efektif untuk mencapai  tujuan yang telah ditetapkan. 
3.      Peserta didik. Ada beberapa pertanyaan yang bisa diajukan ketika kita memilih media pembelajaran berkait dengan peserta didik, seperti: apakah media yang dipilih sudah sesuai dengan karakteristik peserta didik, baik itu kemampuan/taraf berpikirnya, pengalamannya, menarik tidaknya media pembelajaran bagi peserta didik? Digunakan untuk peserta didik  kelas dan jenjang  pendidikan yang mana? Apakah untuk belajar secara individual, kelompok kecil, atau kelompok besar/kelas? Berapa jumlah  peserta didiknya? Di mana lokasinya? Bagaimana gaya belajarnya? Untuk kegiatan tatap muka atau jarak jauh? Pertanyaan-pertanyaan tersebut  perlu dipertimbangkan ketika memilih dan menggunakan media dalam kegiatan pembelajaran.
4.      Ketersediaan. Apakah  media yang diperlukan itu sudah tersedia? Kalu belum, apakah media itu dapat diperoleh dengan mudah? Untuk tersedianya media ada beberapa alternatif yang dapat diambil yaitu membuat sendiri, membuat bersama-sama dengan peserta didik, meminjam menyewa, membeli dan mungkin bantuan.
5.      Kualitas teknis. Apakah media media yang dipilih itu kualitas baik? Apakah memenuhi syarat sebagai media pendidikan? Bagaimana keadaan daya tahan media yang dipilih itu?
6.      Biaya pengadaan. Bila memerlukan biaya untuk pengadaan media, apakah tersedia biaya untuk itu? Apakah yang dikeluarkan seimbang dengan manfaat dan hasil penggunaannya? Adakah media lain yang mungkin lebih murah, tetapi memiliki keefektifan setara?
7.      Fleksibilitas (lentur), dan kenyamanan media. Dalam memilih media harus dipertimbangkan kelenturan dalam arti dapat digunakan dalam berbagai situasi dan pada saat digunakan tidak berbahaya.
8.      Kemampuan orang yang menggunakannya. Betapapun tingginya nilai kegunaan media, tidak akan memberi manfaat yang banyak bagi orang yang tidak mampu menggunakannya.
9.      Alokasi waktu, waktu yang tersedia dalam proses pembelajaran akan berpengaruh terhadap penggunaan media pembelajaran. Untuk itu ketika memilih media pembelajaran kita dapat mengajukan beberapa pertanyaan seperti; apakah dengan waktu yang tersedia cukup untuk pengadaan media, apakah waktu yang tersedia juga cukup untuk penggunaannya.








penjelasan ayat kursi menurut tafsir ibn katsir



Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat


“Allah, tidak ada tuhan selain Allah (yang berhak untuk diibadahi) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya dan Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Al-Baqarah: 255)
Inilah yang disebut ayat kursi. Ayat ini mengandung suatu hal yang sangat agung. Dan terdapat sebuah hadits shahih dari Rasulullah, yang menyebutkan bahwa ayat tersebut adalah ayat yang paling utama di dalam kitab Allah (al-Qur’an).
Dari hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah. Imam Tirmidzi mengatakan: “Hadits ini hasan shahih.” Ayat ini mencakup 10 (sepuluh) kalimat yang berdiri sendiri, yaitu firman Allah Ta’ala: AllaaHu laa ilaaHa illaa Huwa (“Allah, tidak ada ilah [yang berhak di-ibadahi] melainkan Dia.”) Yang demikian itu memberitahukan, bahwasanya Allah-lah yang Tunggal dalam uluhiyah-Nya (ketuhanan-Nya) bagi seluruh makhluk-Nya.” Al yang ada. Dengan demikian, semua yang ada di dunia ini sangat membutuhkan-Nya, sedang Dia sama sekali tidak membutuhkan mereka, tidak akan tegak semuanya itu tanpa adanya perintah-Nya. seperti firman-Nya berikut ini: wa min aayaatiHii an taquumas samaa-u wal ardlu bi amri (“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah hayyul qayyuum (“Yang Mahahidup kekal lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya.”) Artinya, yang hidup kekal, dan tidak akan pernah mati selamanya, yang mengendalikan semua berdirinya langit dan bumi dengan iradah-Nya.”) (QS. Ar-Ruum: 25).
Dan firman-Nya: laa ta’khudzuHu sinatuw walaa naum (“Tidak mengantuk dan tidak pula tidur”) Artinya, la suci dari cacat (kekurangan), kelengahan dan kelalaian tidur dalam mengurusi makhluk-Nya. Bahkan sebaliknya, Dia senantiasa mengurus dan memperhatikan apa yang dikerjakan setiap individu. Dan Dia senantiasa menyaksikan segala sesuatu, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya. Dan di antara kesempurnaan sifat-Nya adalah Dia tidak pernah dikalahkan (dikuasai) kantuk dan tidur. Firman-Nya: laa ta’khudzuHu; berarti Dia tidak dikalahkan (dikuasai) oleh kantuk. Oleh karena itu Dia juga berkata: “Dan tidak juga tidur.” Karena tidur itu lebih kuat dari mengantuk.
Dan firman-Nya: laHuu maa fis samaawaati wa maa fil ardli (“Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan di bumi.”) Hal itu merupakan pemberitahuan bahwaa makhluk ini adalah hamba-Nya, dan berada di dalam kerajaan-Nya, pemaksaan-Nya, dan juga kekuasaan-Nya.
Firman-Nya: man dzal ladzii yasy-fa’u ‘indaHuu illaa bi-idzniHi (“Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya.”) Ini merupakan bagian dari keagungan, keperkasaan, dan kebesaran Allah swt, yang mana tidak seorang pun dapat memberikan syafa’at kepada orang lain, kecuali dengan seizin-Nya. Sebagaimana yang ditegaskan dalam sebuah hadits tentang syafaat: “Aku datang ke bawah ‘Arsy, lalu aku tunduk bersujud. Maka Dia membiarkanku selama waktu yang Dia kehendaki. Kemudian dikatakan: ‘Angkatlah kepalamu, katakanlah perkataanmu akan didengar, dan berilah syafaat, dan engkau akan mendapat syafaat.’ Nabi bersabda: ‘Kemudian Allah memberikan suatu batasan kepadaku, lalu aku memasukkan mereka ke dalam surga.’” (HR Al-Bukhari dan lain-lainnya).
Dan firman Allah Ta’ala: ya’lamu maa baina aidiiHim wa maa khalfaHum (“Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka.”) Yang demikian itu sebagai bukti yang menunjukkan bahwa ilmu-Nya meliputi segala yang ada, baik yang lalu, kini, dan yang akan datang.
Selanjutnya penggalan ayat: walaa yuhiithuuna bibisyai-im min ‘ilmiHii illaa bimaa syaa’a (“Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya”) Artinya, tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui sedikit pun dari ilmu Allah kecuali yang telah diajarkan dan diberitahukan oleh Allah kepada-Nya. Mungkin juga makna penggalan ayat tersebut adalah, manusia tidak akan dapat mengetahui ilmu Allah sedikit pun, dzat dan sifatnya melainkan yang telah diperlihatkan Allah kepadanya. Hal itu seperti firman-Nya yang artinya: “Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” (QS. Thaahaa: 110).
Dan firman-Nya lebih lanjut: wasi’a kursiyyuHus samaawaati wal ardla (“Kursi Allah meliputi langit dan bumi.”) Ibnu Abi Hatim menceritakan, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya, wasi’a kursiyyuHus samaawaati wal ardla (“Kursi Allah meliputi langit dan bumi.”) ia mengatakan, “Yaitu ilmu-Nya.”
Pendapat yang sama juga diriwayatkan Ibnu Jarir, dari Abdullah bin Idris dan Hasyim, keduanya dari Mutharif bin Tharif. Ibnu Abi Hatim, menceritakan, hal yang sama juga diriwayatkan, dari Said bin Jubair.
Dalam tafsirnya, Wak’i telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan: “Kursi adalah tempat pijakan dua kaki (Allah) dan ‘Arsy tidak ada seorang pun yang mampu memperkirakannya. Hal itu juga diriwayatkan al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak, ia mengatakan: “(Riwayat tersebut) shahih menurut syarat dari Syaikhani (al-Bukhari dan Muslim) tetapi keduanya tidak meriwayatkannya.
Dan firman-Nya, “Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya. “Maksudnya, Dia tidak merasa keberatan dan kewalahan untuk memelihara langit, bumi, dan semua yang ada di antara keduanya. Bahkan bagi-Nya semuanya itu merupakan suatu hal yang sangat mudah dan ringan. Dia yang mengawasi setiap individu atas apa yang ia kerjakan. Yang senantiasa memantau segala sesuatu, sehingga tidak ada sesuatu pun yang luput dan tersembunyi dari-Nya. Dia yang menundukkan dan menghisab (memperhitungkan) segala sesuatu. Dialah Ilah Yang Mahamengawasi, Mahatinggi, dan tidak ada Ilah selain Dia.
Dengan demikian firman-Nya: wa Huwal ‘aliyyul ‘adhiim (“Dan Allah Mahatinggi lagi Mahabesar,”) adalah sama seperti firman-Nya: wa Huwal kabiirul muta’aal (“Yang Mahabesar lagi Mahatinggi.”) (QS. Ar-Ra’ad: 9).


penjelasan sanad matan rowi hadist




SANAD, MATAN, RAWI, DAN TAKHRIJ HADITS
PENDAHULUAN
Sanad dan matan merupakan dua unsur pokok hadits yang harus ada pada setiap hadist, antara keduanya memiliki kaitan yang sangat erat dan tidak dapat dipisakan. Suatu berita tentang rasulullah SAW (matan) tanpa ditemukan rangkaian atau susunan sanadnya, yang demikian tidak dapat disebutkan hadits, sebaliknya suatu susunan sanad, meskipun bersambung sampai rasul, jika tidak ada berita yang dibawanya, juga tidak bisa disebut hadist.
Pembicaran dua istilah diatas, sebagai dua unsur pokok hadist, matan dan sanad diperlukan setelah rasul wafat. Hal ini karna berkaitan dengan perlunya penelitian terhadap otentisitas isi berita itu sendiri apakah benar sumbernya dari rasul atau bukan.Upaya ini akan menentukan bagaimana kualitas hadits tersebut, yang akan dijadikan dasar dalam penetapan syari’at islam.
Dan untuk mengetahui lebih mendalam tentang apa itu unsur-unsur hadis dan kaitan lainya yang berhubungan dengan unsur-unsur hadis seperti rawi, mukharijj dan sebagian lainya perlu kita pelajari
Atas pembicaraan diatas kami dari kelompok dua berkeinginan untuk membahas segala yang berkaitan dengan unsu-unsur hadis, baik itu sanad,matan,rawi, mukharrij dan istilah-istilah kumpulan periwayat,gelar keahlian bagi imam hadis.
PENGERTIAN SANAD, MATAN, RAWI, DAN ILMU RIJALUL HADITS
1. Sanad hadits
Kata sanad atau as-sanad menurut bahasa, dari sanada, yasnudu yang berati sandaran/tempat bersandar, tempat berpegang, yang dipercaya atau yang sah. Dikatakan demikian karena, karena hadist itu bersandar kepadanya dan dipegangi atas kebenaranya.
Secara temionologis,difinisi sanad ialah : ” silsilah orang-orang yang mehubungkan kepada matan hadis”.
Silsilah orang maksudnya, ialah susunan atau rangkaian orang-orang yang meyampaikan materi hadis tersebut, sejak yang disebut pertama sampai kepada Rasul SAW, yang perbuatan, perkataan, taqrir, dan lainya merupakan materi atau matan hadits. Dengan pegertian diatas maka sebutan sanad hanya berlaku pada serangkaian orang-orang bukan dilihat dari sudut pribadi secara perorangan.
2. Matan hadits
Kata matan atau al-matan menurut bahasa berarti ma shaluba wa irtafa’a minal-aradhi (tanah yang meninggi). Secara temonologis, istilah matan memiliki beberapa difinisi, yang mana maknanya sama yaitu materi atau lafazh hadits itu sendiri. Pada salah satu definisi yang sangat sederhana misalnya, disebutkan bahwa matan ialah ujung atau tujuan sanad . Dari definisi diatas memberi pengertian bahwa apa yang tertulis setelah (penulisan) silsilah sanad adalah matan hadits.
Pada definisi lain seperti yang dikatakan ath-thibi mendifinisikan dengan :”lafazh-lafazh hadits yang didalamnya megandung makna makna tertentu”.
Jadi dari pegertian diatas semua, dapat kita simpulkan bahwa yang disebut matan ialah materi atau lafazh hadits itu sendiri, yang penulisannya ditempatkan setelah sanad dan sebelum rawi.
Penelitian sanad dan matan hadist
Penelitian terhadap sanad dan matan hadis (sebagai dua unsur pokok hadis)sangat diperlukan,bukan karena hadis itu diragukan otentisitasnya.penelitian ini dilakukan untuk meyaring unsur-unsur luar yang masuk kedalam hadis baik yang disegaja maupun yang tidak disegaja,baik yang sesuai dengan dalil-dalil naqli lainya atau tidak sesuai.maka dengan penelitian terhadap kedua unsur hadis diatas, hadis-hadis masa rasul SAW dapat terhindar dari segala yang megotorinya
Faktor yang paling utama perlunya dilakukan penelitian ini, ada dua hal yaitu: pertama, karena beredarnya hadis palsu (manudhu) pada kalangan masyarakat; kedua hadis-hadis tidak ditulis secara resmi pada masa rasul SAW (berbeda dengan al-quran), sehinga penulisan hanya bersifat individul(tersebar di tangan pribadi sahabat ) dan tidak meyeluruh.
3. Rawi hadits
Kata rawi  berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits ( naqil al-hadits).
Sebenarnya, sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Sanad-sanad hadits pada tiap tabaqah-nya, juga disebut rawi, jika yang dimaksud dengan rawi adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadits. Akan tetapi, yang membedakan antara rawi dan sanad terletak pada pembukuan atau pen-tadwin-an hadits. Orang yang menerima hadits dan kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin disebut perawi. Dengan demikian, maka perawi dapat disebut mudawwin (orang yang membukukan dan menghimpun hadits).
Ilmu Rijalil Hadits adalah salah satu dari ilmu-ilmu hadits yang sangat penting. Ilmu hadits, melengkapi sanad dan matan. Orang-orang sanad itulah perawih-perawih hadits. Maka merekalah pokok pembicaraan ilmu Rijalul Hadits yang merupakan salah satu dari dua tepi ilmu hadits. Lantataran inilah para ulama sangat mementingkan ilmu ini. Tentang ilmu Rijalul Hadits akan dibatas tersendiri.
CONTOH RAWI
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﻌﻤﺮ ﺑﻦ ﺭﺑﻌﻲ ﺍﻟﻘﻴﺲ، ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﻫﺸﺎﻡ ﺍﻟﻤﺤﺰﻭﻣﻲ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻮﺍﺣﺪ ﻭﻫﻮ ﺍﺑﻦ ﺯﻳﺎﺩ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﺣﻜﻴﻢ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻤﻨﻜﺪﺭ ﻋﻦ ﻋﻤﺮﺍﻥ ﻋﻦ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﻋﻔﺎﻥ ﻗﺎﻝ ؛ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ؛ ﻣﻦ ﺗﻮﺿﺄ ﻓﺄﺣﺴﻦ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﺧﺮﺟﺖ ﺧﻄﺎﻳﺎﻩ ﻣﻦ ﺟﺴﺪﻩ ﺣﺘﻲ ﺗﺨﺮﺝ ﻣﻦ ﺗﺤﺖ ﺃﻇﻔﺎﺭﻩ . ‏( ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ ‏)
Artinya:
“ Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ma’mur bin Rabi’i al-Qaisi, katanya telah menceritakan kepadaku Abu Hisyama al-Mahzumi dari Abu Al-Wahid yaitu Ibnu Ziyad, katanya telah menceritakan kepadaku ‘Utsman bin Hakim, katanya telah menceritakan kepadaku Muhammad al-Munqadir, dari ‘Amran, dari ‘Utsman bin Affan r.a. ia berkata” Barang siapa yang berwudu’ dengan sempurna (sebaik-baiknya wudu’), keluarlah dosa-dosanya dari seluruh badannya, bahkan dari bawah kukunya” (H.R. MUSLIM).
Dari nama Muhammad bin Ma’mur bin Rabi’il al-Qaisi sampai dengan ‘Utsman bin ‘Affan ra. adalah sanad dari hadits tersebut. Mulai kata “ man tawadha’a ” sampai dengan kata “ tahta azhfarihi ”, adalah matannya, sedangkan Imam Muslim yang dicatat diujung hadits adalah perawinya, yang juga disebut mudawwin.
● Syarat-syarat seorang perawi (rawi)
Secara umum ada dua syarat pokok yang biasa diterima periwayatannya yaitu. Yaitu :
a. Islam
Pada waktu periwayatan hadis, maka seorang perawi harus muslim, menurut ijma pendapat orang kafir tidak sah. Seamdainya perawinya seorang fasik saja kita disuruh bertawaqub , maka lebih-lebih perawi yang kafir. Kaitannya dengan masalah ini bisa kita bandingkan dengan firman Allah sebagai berikut:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. “ (Al-Hujurat: 6).
b. Baligh
Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadis, berdasarkan hadits Nabi
ﺭﻓﻊ ﺍﻟﻘﻠﻢ ﻋﻦ ﺛﻼﺛﺔ : ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺎﺋﻢ ﺣﺘﻰ ﻳﺴﺘﻴﻘﻆ،ﻭﻋﻦ ﺍﻟﻤﺒﺘﻠﻰ ﺣﺘﻰ ﻳﺒﺮﺃ،ﻭﻋﻦ ﺍﻟﺼﺒﻰ ﺣﺘﻰ ﻳﻜﺒﺮ
“Diangkat qalam (maksudnya tidak dicatat amalnya) dari tiga (orang),yaitu : 1. Dari orang yang tidur sampai ia bangun. 2. Dari orang yang terkena penyakit (gila) sampai ia sembuh. 3. Dari anak kecil sampai ia besar (baligh). HR. Ahmad,Abu Dawud,Nasa-i,Ibnu Majah dan Hakim dari ‘Aisyah.
c. Al-Adl (keadilan)
Al-Adl disini berarti keadilan, dimana seorang perawi itu harus muslim, baligh, berakal, jujur, terbebas dari sebab-sebab kefasikan dan terhindar dari hal-hal yang merusak muru’ah (martabat diri). Adapun rawi dikatakan ‘ adil orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang menodai agama dan keperwiraannya.
Perawi yang adil tidak boleh melakukan dosa besar maupun kecil. Para ulama hadis lebih jauh mengajukan syarat-syarat khusus bagi seorang perawi yang adil.
Dengan Apa Keadilan Dipastikan?
Keadilan dapat dipastikan melalui salah satu dari dua hal:
Pertama, bisa dengan ketetapan dua orang yang adil, yaitu dua ulama ta’dil atau salah seorang dari mereka menetapkan keadilannya.
Kedua, bisa juga dengan ketenaran atau kepopuleran. Jadi, barangsiapa yang popular dikalangan ahli ilmu dan banyak yang memujinya, hal itu sudah cukup. Tidak diperlukan lagi penentuan adil baginya. Contoh imam-imam yang terkenal, seperti imam madzhab yang empat, al-Auza’i dan lainnya.
Ibnu Hajar Al-‘Asqalan menyebar lima syarat. Yakni takwa kepada Allah, memiliki moralitas yang mulia (mura’ab), bebeas dari dosa besar, tidak melakukan bidab, dan tidak fasiq. Namun, kualitas keadilan belum menjamin keakuratan sebuah riwayat dan belum dapat menghindarkan seseorang berbuat salah, karena kesalahan bisa terjadi tanpa disadari oleh si pembuat kesalahan.
d. dhabith
Perawi harus memiliki akurasi hafalan yang tinggi (dhabith). Untuk memiliki tingkat akurasi perawi, para ulama hadis menggunakan dua metode, yakni merujuk pada penilaian-penilaian para ulama tentang perawi tertentu dan membandingkan riwayatnya dengan riwayat lain. Metode-metode ini tercermin dalam pernyataan-pernyataan yang disandarkan kepada ulama-ulama, Ayyub As-Sakhtiyani, seseorang Tabiin muda (68-131), misalnya, dilaporkan telah berkata “untuk mengetahui pernyataan autentik mengenai autentisitas hadis, seseorang perlu membandingkan kata-kata para ulama dengan kata-kata ulama lain”. Secara teoritis, metode membandingkan riwayat seorang perawi dengan riwayat perawi lain dapat ditemukan dalam buku pegangan (handbook) tentang kritik hadis klasik, Muqaddimah, karya Ibnu Ash-Shalah. Dia mengatakan:
“ Akurasi seorang perawi dapat diketahui melalui cara membandingkan riwayatnya dengan riwayat orang terkenal ke- tsiqab- annya. Apabila (1) riwayatnya sesuai dengan riwayat mereka, meskipun hanya sebatas isinya atau (2) riwayatnya memang lazim sesuai dengan riwayat mereka jarang berbeda, maka kita mengetahui bahwa perawi tersebut mengontrol riwayatnya dan
karena itu ia dhabith. Akan tetapi apabila riwayatnya sering ditemukan berbeda dengan riwayat para perawi tsiqah, maka ia bukan perawi yang dapat dipercaya dan riwayatnya tidak boleh digunakan sebagai dasar hujjah.
4. Takhrij hadits
Kata “takrhij” dari kata kharaja,yakharruju,yang secara bahasa mempunyai bermacam-macam arti. Menurut mahmud ath tahhan,asal kata takhrij ialah;”berkumpulnya dua hal yang bertentangan dalam satu persoalan”.
Pegertian secara terminologi adalah “Petunjuk tentang tempat atau letak hadis pada sumber aslinya, yang diriwayatkan dengan meyebutkan sanadnya, kemudian di jelaskan martabat atau kedudukanya manakala di perlukan.”
Bedasarkan definisi diatas, maka men-takhrij berati melakukan dua hal:
Pertama, berusaha menemukan para penulis hadis itu sendiri dengan rangkaian silsilah sanad-nya. Kedua, memberikan penilaian kulitas hadis apakah hadis tersebut itu shahih atau tidak
Ilmu thakrij merupakan bagian dari ilmu agama yang perlu dipelajari dan dikuasai, sebab di dalamnya dibicarakan tentang berbagai kaidah untuk megetahui darimana sumber hadis itu berasal, selain itu didalamnya ditemukan banyak kegunaan dan hasil yang diperoleh khusunya dalam menentukan kualitas sanad hadis
a. Gelar keahlian bagi imam hadits
Mengingat jasa dan usaha para ulama hadits yang sangat besar dalam upaya pembinaan dan pengembangan hadits, kepada mereka diberikan laqab atau gelar-gelar tertentu, baik itu mereka yang ada pada thabaqah pertama, kedua, ketika, dan seterusnya. Gelar itu antara lain ialah:
1. Al-muhaddits, merupakan gelar untuk ulama yang meguasai hadits, baik dari sudut ilmu riayah maupun di rayah, mampu membedakan hadits dha’if dari yang sahih, meguasai hadits-hadits yang mukthalif dan hallain yang berkaitan dengan ilmu hadis.
2. Amir al- mu’minin fi al- hadits,merupakan gelar bagi ulama ahli hadis termasyhur pada masanya, yang memiliki keistimewaan hafalan dan pegetahuan dalam bidang ilmu hadits (baik terhadap matan atau sanadnya). Gelar ini diberikan di antaranya kepada syu’bah bin al-hajjaj, sufyan ats-tsauri, ishak ibn ruhawaih, malik bin anas, ahmad bin hanbal, al-bukhari, ad-daruquthni, az zahabi, dan ibn hajar al-asqalani.
3 .Al-hakim, merupakan gelar untuk ulama yang dapat meguasai seluruh hadits, baik dari sudut matan dan sanadnya jarh dan ta’dil-nya, maupun tariknya, ulama yang dapat gelar seperti ini, ialah Ibnu Dinar, Al-laits, dan Asy-syafi’i.
4. Al-Hujjah, merupakan gelar untuk ulama yang dapat menghafal sekitar 300.000 hadits beserta keadaan sanadnya. Diantara ulama yang mendapat gelar ini Muhammad ibn Abdullah ibn Amir.
5. Al- Hafizh merupakan gelar untuk ulama yang memiliki sifat-sifat seorang Muhaddis. Ulama yang dapat gelar Al-Hafizh adalah yang dapat menghafal dan menguasai 100.000 hadits, baik matan maupun sanadnya, meskipun dengan jalan sanad yang berbilang, juga mengetahui hadits sahih dan ilmu haditsnya. Menurut Al-Mizzi, gelar al-hafizh ialah untuk ulama yang kadar lupanya sedikit daripada yang ingatannya.
Selain gelar Al-Hafizh, ada juga gelar Hafizh Hujjah,dua gelar disatukan. Gelar ganda ini diberikan untuk ulama yang menguasai hadits lebih dari 100.000 sampai dengan 300.000 hadits.
b.istilah-istilh kumpulan periwayat
Hadis-hadis yang diriwayatkan dan dihimpun oleh para mudawwin satu dengan yang lainya tidak sama , sehingga bisa jadi sesuatu hadis diriwayatkan oleh satu,dua,atau tiga perawi, bisa jadi pula hadis lainya hanya diriwayatkan oleh satu perawi.berkaitan dengan ini, maka muncul istilah-istilah atau sebutan –sebutan dalam periwayatan hadis antara lain:
1. akhrajahu syaikhani: hadis tersebaut diriwayatkan oleh kedua perawi hadis (al-bukhari dan muslim)
2. akhrajahu shalasah: hadis tersebut diriwayatkan oleh tiga perawi hadis(abu daud,at-turmidzi, dan an nasa’i)
3. akhrajahu arba’atun: hadis tersebut diriwayatkan oleh empat perawi (abu daud,at-turmidzi,an-nasa’i, dan ibn-majah)
4. akhrajahu khamsatun: hadis tersebut diriwayatkan oleh (abu daud, at-turmidzi, an-nasa’i,ibn majah, dan ahmad)
5. akhrajahu sittatun: hadis tersebut diriwayatkan oleh(al-bukhari,muslim,abu daud, at turmidzi, an nasa’i, dan ibnu majah)
6. akhrajahu sab’atun: hadis tersebut diriwayakan oleh(al-bukhari, muslim, abu-daud, at-turmidzi, an-nasai, ibn majah, ahmad)
7. akhrajahu jama’atan: hadis tersebut diriwayatkan oleh banyak ulama hadist
Daftar Pustaka
Ash shiddieqy, M. Hasbi. 2001. sejarah dan pengantar ilmu hadits.
Semarang: PT. Pustaka Rizki putra.
Suparta, Munzir. Ilmu Hadis, Jakarta: Rajawali Press, 2003
Shalih, Subhi , Membahas Ilmu-ilmu Hadis. Pustaka Pirdaus, 2007
Rahman, Fathur, Ikhtisar Mustalahul Hadis, Bandung: PT. Al Ma’arif, 1974
Ash shalih, Subhi. 1993. Membahas ilmu-ilmu hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus
Ismail, M. Syuhubi. 1992. Metodologi penelitian hadits.
Jakarta: PT. Bulan Bintang
Ismail, M. Syuhubi.2007. Pengantar ilmu hadits. Jakarta: PT. Angkasa Bandung
‘Itr, Nuruddin. 2012. ‘ulumul Hadits. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset
Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta : Pustaka Al-Kausar. 2004).
Ath-tahhan,Mahmud. Ushul at-takhrij wa dirasah al-asanid.maktabah ar-rusyd,riyadh,1983 M.
Taisir musthalah al-hadist .Dar al-quran al-karim,Beirut, 1979 m.
Al-Khathib Muhamad ajjaj.As-sunah Qabla at-tadwin.Dar al-fikr,Beirut,1971
Muslim, Abu al-Husain bin al-hajjaj al-Qursyairi an-Naisaburi.shahih muslim. Dar al-fikr,Beirut, 1992 m.
As-sayuthi,jalal ad-din Abd ar-Rahman bin Abi Bakar .Al-jami ash-shagir fir Alhadis al-Basyir an-Nazir.Dar al fikr,beirut,t.t.
Utang ranuwijaya.ilmu hadist.jakarta,gaya media pratama.1996 m.
Hanafi, Ahmad, 1989, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam , Jakarta: Bulan Bintang
Jalaluddin, Fiqih remaja, 2009, Jakarta: Kalam Muliua,
Qardhawi, Yusuf, 2007, Pengantar Studi Hadts , (Bandung: Pustaka Setia
Smeer. Zeid B. t.th, Ulumum Hadist Pengantar Studi Hadist Praktis. ,
Malang, UIN- Malang Press
Syauki, Achmad, 1985, Lintasan Sejarah Al-Qur’an , Bandung: Sulita
Thahhan. Mahmud, 2007, Intisari Ilmu Hadist, Malang:UIN-Press
Thalib, Muhammad, 1977, Ilmu Ushul Fiqh , Jakarta: Bina Ilmu